Sabtu, 06 Desember 2014

FILSAFAT ILMU PENDIDIKAN




1.Hakikat Filsafat Ilmu
Ilmu Þ pengetahuan (knowledge) Þ segala sesuatu yang diketahui atau hasil usaha untuk tahu
         Þ filsafat, agama, pengetahuan
Pengetahuan Þ scientific knowledge Þ ilmu pengetahuan
Ø  Ilmu adalah segala pengetahuan yang rasional, suprarasional, dan/atau empiris yang diyakini dapat digunakan sebagai landasan berpikir dan bertindak untuk memecahkan masalah kehidupan
Ø  Ada 3 macam Ilmu: Filsafat, Sains, dan Agama
Ø  Ilmu Filsafat sifatnya rasional, mendasar, menyeluruh, dan spekulatif
Ø  Ilmu Sains sifatnya rasional dan empiris
Ø  Ilmu Agama sifatnya rasional, suprarasional, dan/atau empiris
Pengetahuan belum tentu teruji kebenarannya tidak bisa disebut ilmu Þ dapat diterima nalar dan empiris. Filosofi berhubungan dengan agama












agama
 











Teori alam semesta :
·         Teori big bang ( Alex Fernandez)
·         Steady state theory (hoyle, Gold,Bondi 1948)
·         Occilating theory alam semesta berada dalam keadaan melar dan menciut dalam jangka waktu ribuan juta tahun
Pandangan filsafat sebelum abad 20
Alam semesta sudah ada sejak waktu yang tak terbatas karena tidak mempunyai awal atau akhir. Alam semesta tidak diciptakan
Manusia pada hakikatnya adalah pendidik tetapi tidak semua pendidik profesional
Bhineka tunggal ika juga bisa menjadi selogan di dunia Þ tidak semua manusia yang sma di dunia ini meskipun kembar identik, tetapi mempunya misi hidup yang sama sebagai khalifah di dunia.
Manusia yang hakiki adalah makhluk individual oleh karena itu konsekuensi logis hidup sebagai makhluk sosial
Pendidikan Þ transfer knowledge
B = f (P.E)
         Behavior adalah fungsi Personal Inputs dan Environmental Inputs
         Yang Genotif itu hanya menjadi Fenotif jika lingungannya mendukung
         Manusia dikaruniai  banyak potensi, dan potensi-potensi tersebut hanya dapat tumbuh dan berkembang optimal dan terintegrasi melalui pendidikan yang sesuai (lingkungan yang baik)
         Kualitas potensi tiap manusia berbeda-beda karena itu diperlukan pendidikan yang berbeda-beda pula
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (UU Nomor 20 Th. 2005).

Pendidikan adalah usaha untuk memberdayakan potensi kemanusiaan secara optimal dan terintegrasi agar bermanfaat untuk membangun kehidupan bersama yang lebih baik dalam rangka meningkatkan kualitas pengabdian kepada Tuhan Yang Maha Esa (Mulyono A).
Ø  Peserta Didik pada Umumnya atau Peserta Didik Normal ialah yang tidak mengalami hembatan berarti dalam mengikuti pendidikan
Ø  Peserta Didik Barkebutuhan Khusus ialah yang menyimpang secara bermakna dari kriteria normal dalam kerekteritik fisik, sinsorik, motorik, kognitif, emosional, dan/atau sosial; dan karena penyimpangannya tersebut membutuhkan modifikasi pelaksanaan pendidikan yang disebut Pendidikan Khusus agar seluruh potensinya dapat berkembang penuh dan terintegrasi
Ø  Penyimpangan dapat bermakna positif maupun negatif
Manusia adalah makhluk bhinneka yang mengemban misi tunggal untuk membangun kehidupan bersama yang lebih baik dalam rangka meningkatkan kualitas pengabdian semata-mata kepada Tuhan Yang Maha Esa (Bhinneka Tunggal Ika)
Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk bhinneka agar dapat saling berhubungan dalam rangka saling membutuhkan untuk mengemban misi kekhalifahannya di muka bumi
         Pendidikan sebagai upaya menemukenali (to identify) potensi unggul tersembunyi peserta didik untuk dikembangkan secara optimal dan terintegrasi agar bermanfaat bagi kehidupan bersama yang lebih baik untuk dipersembahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
         Pendidikan harus berbasis konsepsi keberbakatan (conceptions of giftedness) bagi semua peserta didik, bukan mengumpulkan peserta didik berbakat untuk “dididik” secara eksklusif
         Pendidikan adalah upaya menjadikan manusia sebagai rahmat bagi alam semesta (rahmatan lil alamin)

2.Macam-macam sains (Filsafat, agama, pengetahuan)
Secara etimologi pengetahuan ( pengetahuan) dalam bahasa Inggris berasal dari kata knowledge. Dalam Encyclopedia of Philosophy dijelaskan bahwa definisi pengetahuan adalah kepercayaan yang benar (knowledge is justified true belief).
Sedangkan secara terminology akan dikemukakan beberapa definisi tentang pengetahuan. Menurut Gazalba, pengetahuan adalah apa yang diketahui atau hasil pekerjaan tahu. Pekerjaan tahu tersebut adalah hasil dari kenal, sadar, insyaf, mengerti dan pandai. Pengetahuan itu adalah semua milik atau isi pikiran. Dengan demikian pengetahuan merupakan hasil proses dari usaha manusia untuk tahu.
Dalam kamus filsafat dijelaskan bahwa scientific knowledge adalah proses kehidupan yang diketahui manusia secara langsung dari kesadarannya sendiri. Dalam peristiwa ini yang mengetahui (subjek) memiliki yang diketahui (objek) di dalam dirinya sendiri sedemikian aktif sehigga yang mengetahui itu menyusun yang diketahui pada dirinya sendiri dalam kesatuan aktif.
            Lebih lanjut lagi dijelaskan bahwa pengetahuan dalam arti luas berarti semua kehadiran internasional objek dalam subjek. Namun dalam arti sempit dan berbeda dengan imajinasi atau pemikiran belaka, pengetahuan hanya berarti putusan yang benar dan pasti (kebenaran dan kepastian). Disini subjek sadar akan hubungan objek dan eksistensi. Pada umumnya, adalah tepat kalau mengatakan pengetahuan hanya merupakan pengalaman sadar. Karena sangat sulit melihat bagaimana persisnya suatu pribadi dapat sadar akan suatu eksisten tanpa kehadiran eksisten itu dalam dirinya.
            John Dewey sebagai orang yang termasuk aliran filsafat pragmatis, tidak membedakan pengetahuan dengan kebenaran (antara knowledge dengan truth). Jadi pengetahuan itu harus benar, kalau tidak benar adalah kontradiksi.
Jenis Pengetahuan
pengetahuan yang diperoleh manusia dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok, yaitu:
a.  Pengetahuan biasa (common sense) yaitu pengetahuan biasa, atau dapat kita pahami bahwa pengetahuan ini adalah pengetahuan yang karena seseorang memiliki sesuatu karena menerima secara baik. Orang menyebut sesuatu itu merah karena memang merah, orang menyebut benda itu panas karena memang benda itu panas dan seterusnya.
b. Pengetahuan Ilmu (pengetahuan) yaitu ilmu pengetahuan yang bersifat kuantitatif dan objektif, seperti ilmu alam dan sebagainya. Ilmu pada prinsipnya merupakan usaha untuk mengorganisasikan dan mensistematisasikan common sense, suatu pengetahuan yang berasal dari pengalaman dan pengamatan  dalam kehidupan sehari-hari.
Ilmu dapat merupakan suatu metode berpikir secara obyektif (objective thinking), tujuannya untuk menggambarkan dan member makna terhadap dunia factual. Analisis ilmu itu objektif dan menyampingkan unsure pribadi, pemikiran logika diutamakan, netral dalam arti tidak dipengaruhi oleh sesuatu yang bersifat kedirian (subjektif) karena dimulai dengan fakta. 
c. Pengetahuan Filsafat, yakni ilmu pengetahuan yang diperoleh dari pemikiran yang bersifat kontemplatif dan spekulatif. Pengetahuan filsafat lebih menekankan pada universalitas dan kedalaman kajian tentang sesuatu.
d. Pengetahuan Agama, yaitu pengetahuan yang hanya didapat dari Tuhan lewat para utusan-Nya. Pengetahuan agama bersifat mutlak dan wajib diyakini oleh para pemeluk agama[6]. Pengetahuan mengandung beberapa hal yang pokok, yaitu ajaran tentang cara berhubungan dengan Tuhan, yang sering juga disebut dengan hubungan vertical dan cara berhubungan dengan sesama manusia, yang sering juga disebut dengan hubungan horizontal.
Perbedaan Pengetahuan dengan Ilmu
Pada dasarnya pengetahuan berbeda dengan ilmu. Perbedaan itu terlihat dari sifat sistematik dan cara memperolehnya. Perbedaan tersebut menyangkut pengetahuan prailmiah atau pengetahuan biasa, sedangkan pengetahuan ilmiah dengan ilmu tidak mempunyai perbedaan yang berarti.
Jadi perbedaan antara pengetahuan dan ilmu adalah jika pengetahuan (knowledge) adalah hasil tahu manusia untuk memahami suatu objek tertentu, sedangkan ilmu (science) adalah pengetahuan yang bersifat positif dan sistematis.
Menurut Bahm ada delapan hal penting yang berfungsi membentuk struktur pikiran manusia sehingga menghasilkan suatu pengetahuan manusia yaitu:
1.      Mengamati (Observes)
Pikiran memiliki peran mengamati obyek-obyek dalam melaksanakan pengamatan terhadap obyek, pikiran haruslah mengandung kesadaran, pengamatan sering kali muncul dari rasa ketertarikan dalam obyek.
2.      Kegiatan Menyelidiki (Inqures)
Ketertarikan pada obyek membuat seseorang mau untuk mempelajari dan menyelidiki obyek tersebut. Bagaimana obyek tersebut ada dan berkembang, manfaat dan obyek tersebut minat seseorang terhadap obyek mendorong mereka mau terlibat untuk memahami dan menyelidiki obyek-obyek tersebut.
3.      Tahapan mempercayai obyek tersebut (Believes)
Setelah mereka mempelajari dan menyelidiki obyek yang muncul dalam kesadaran mereka, biasanya obyek tersebut diterima sebagai obyek yang tampak sikap percaya biasanya dilawankan dengan keraguan.
4.      Hasrat (Keinginan) dan Desires
Hasrat atau keinginan timbul dari adanya ketertarikan pada kesenangan, kehormatan, penghormatan, rasa aman dan lain-lain. Hasrat biasanya melibatkan beberapa perasaan puas dan frustasi dan berbagai respon terhadap perasaan tertentu.
5.      Maksud dan Tujuan (Intends)
Walaupun seseorang memiliki maksud ketika akan mengobservasi, menyelidiki, mempercayai dan berhasrat, namun perasaanya belum tentu mau menerima dengan segera, terkadang mereka enggan atau malas untuk melaksanakanya.
6.      Mengatur (Organizes)
Setiap pikiran adalah suatu organisme yang teratur dalam diri seseorang, pikiran mengatur melalui keadaran yang sudah jadi, disamping itu pikiran mengatur melalui panggilan untuk memunculkan obyek serta melalui pengingatan dan mendukung penampilan obyek-obyek.
7.      Proses Penyesuaian (Adaptasi)
Menyesuaikan pikiran-pikiran yang ada sekaligus melakukan pembatasan-pembatasan yang dibebankan pada pikiran melalui kondisi keberadaan yang tercakup dalam otak da tubuh. Fikiran itu berasal dari fisik, biologis, lingkungan dan  kultural.
8.      Proses Menikmati (Enjoys)
Pikiran-pikiran dapat mendatangkan keasyikan, seseorang yang asyik dalam menekuni suatu persoalan, maka ia akan menikmati itu dalam pikirannya.
Unsur-unsur  yang dapat membantu manusia untuk memiliki pengetahuan dalam hidupnya :
1. Pengalaman
2. Ingatan
3. Kesaksian
4. Minat dan Rasa Ingin Tahu
5. Pikiran dan Penalaran
6. Logika
7. Bahasa
8. Kebutuhan Hidup Manusia

3.Dasar-dasar pengetahuan
menurut Jujun S. Suria Sumantri menyebutkan bahwa dasar-dasar pengetahuan yang dimiliki manusia itu meliputi:
1.      Penalaran
Penalaran mempunyai ciri- ciri, diantaranya:
a.       Proses berfikir logis
berpikir logis diartikan sebagai kegiatanberpikir menurut suatu pola tertentu atau menurut logika tertentu
b.      Bersifat analitik
Pada dasarnya analisis merupakan suatu kegiatan berpikir berdasarkan langkah- langkah tertentu. Perasaan merupakan suatu penarikan kesimpulan yang tidak berdasarkan padapenalaran. Berpikir tidak berdasarkan penalaran itu disebut dengan intuisi.
c.      Intuisi
Merupakan suatu kegiatan berpikir nonanalitik yang tidak mendasarkan diri kepada suatu pola berpikir tertentu.
Ditinjau dari hakikat usahanya, manusia dalam rangka menemukan kebenaran harus memiliki pengetahuan. Pengetahuan dibedakan menjadi dua jenis, yaitu:
a.      Pengetahuan yang bersumber pada rasio atau fakta rasionalisme
b.      Pengetahuan yang bersumber pada pengalaman
2.      Logika (Menarik Suatu Kesimpulan)
Logika dapat didefinisikan sebagai suatu pengkajian untuk berpikir secara benar. Pada penalaran ilmiah yang seksama terdapat dua jenis penarikan kesimpulan yakni logika induktif dan logika deduktif.
Terdapat dua cara penarikan kesimpulan yaitu:
a.                  Logika Induktif.
Logika induktif erat kaitannya dengan penarikan kesimpulan dari kasus-kasus individual nyata menjadi kesimpulan yang bersifat umum. Misalnya ada fakta bahwa ada kambing mempunyai mata, singa mempunyai mata, ayam mempunyai mata. Maka dapat disimpulkan semua binatang punya mata.

b.      Logika Deduktif
Terkait dengan penarikan kesimpulan dari hal yang bersifat umum menjadi kasus yang bersifat individual(khusus). Penarikan kesimpulan secara deduktif biasanya mempergunakan pola berfikir yang dinamakan silogisme. Silogisme disusun dari dua buah pernyataan (premis mayor dan premis minor) dan sebuah kesimpulan.
Exs:
Semua logam memuai jika dipanaskan
Premis Mayor
Besi adalah sebuah logam
Premis Minor
Jadi besi memuai jika dipanaskan
Kesimpulan
Ketepatan penarikan kesimpulan tergantung dari 3 hal yakni: kebenaran premis mayor, kebenaran premis minor dan keabsahan pengambilan kesimpulan. Jika salah satu unsur tersebut persyaratannya tidak terpenuhi maka kesimpulan yang ditariknya akan salah.
Matematika adalah pengetahuan yang disusun secara deduktif. Argumen matematik seperti a sama dengan b bila b sama dengan c maka a sama dengan c merupakan suatu penalaran.
C.    Sumber  Pengetahuan
Semua orang mengakui memiliki pengetahuan. Namun dari mana pengetahuan itu diperoleh atau lewat apa pengetahuan itu di dapat. Dari sana timbul pertanyaan bagaimana kita memperoleh pengetahuan atau dari mana sumber pengetahuan didapat. Sebelum membahas sumber pengetahuan, terlebih dahulu mengetahui tentang hakikat pengetahuan.
Pengetahuan pada dasarnya adalah keadaan mental. Mengetahui sesuatu adalah menyusun pendapat tentang suatu objek, dengan kata lain menyusun gambaran tentang fakta yang ada diluar akal.
Ada dua teori untuk mengetahui hakikat pengetahuan, yaitu:
1.      Realisme
Teori ini mempunyai pandangan realistis terhadap alam. Pengetahuan menurut realisme adalah gambaran atau copy yang sebenarnya dari apa yang ada dalam alam nyata (dari fakta atau hakikat). Pengetahuan atau gambaran yang ada dalam akal adalah copy dari yang asli yang ada di luar akal. Hal ini tidak ubahnya seperti gambaran yang terdapat dalam foto. Dengan demikian, realisme berpendapat bahwa pengetahuan adalah benar dan tepat bila sesuai dengan kenyataan.
2. Idealisme
Idealisme adalah menegaskan bahwa untuk mendapatkan pengetahuan yang benar-benar sesuai dengan kenyataan adalah mustahil. Pengetahuan adalah proses-proses mental atau proses psikologis yang bersifat subjektif. Oleh karena itu, pengetahuan bagi seorang idialis hanya merupakan gambaran subjektif dan bukan gambaran objektif tentang realitas. Subjektif dipandang sebagai suatu yang mengetahui, yaitu dari orang yang membuat gambaran tersebut. Karena itu, pengetahuan menurut teori ini tidak menggambarkan hakikat kebenaran. Yang diberikan pengetahuan hanyalah gambaran menurut pendapat atau penglihatan orang yang mengetahui atau (subjek).
Setelah kita mengetahui tentang hakikat pengetahuan dan pemaparan kedua madzhab yang menjelaskan hakikat ilmu itu sendiri, maka yang menjadi pertanyaan lanjutan adalah dari mana pengetahuan itu bersumber? Pengetahuan yang ada pada kita diperoleh dengan menggunakan berbagai alat yang merupakan sumber pengetahuan tersebut
Dalam hal ini ada beberapa pendapat tentang sumber pengetahuan:

a.      Paham Rasionalisme
Rasionalisme atau gerakan rasionalis adalah sebuah faham atau aliran atau ajaran atau doktrin filsafat yang menyatakan bahwa kebenaran haruslah ditentukan melalui pembuktian, logika, dan analisis yang berdasarkan rasio, fakta, ide-ide yang masuk akal daripada analisis yang melalui iman, dogma, atau ajaran agama. Rasionalisme mempunyai kemiripan dari segi ideologi dan tujuan dengan humanisme dan atheisme, dalam hal bahwa mereka bertujuan untuk menyediakan sebuah wahana bagi diskursus sosial dan filsafat di luar kepercayaan keagamaan. Meskipun hampir sama, namun ada perbedaan dengan kedua bentuk tersebut humanisme dan atheisme dengan rasionalisme.
Rasionalisme atau gerakan rasionalis adalah sebuah faham atau aliran atau ajaran atau doktrin filsafat yang menyatakan bahwa kebenaran haruslah ditentukan melalui pembuktian, logika, dan analisis yang berdasarkan rasio, fakta, ide-ide yang masuk akal daripada analisis yang melalui iman, dogma, atau ajaran agama. Rasionalisme mempunyai kemiripan dari segi ideologi dan tujuan dengan humanisme dan atheisme, dalam hal bahwa mereka bertujuan untuk menyediakan sebuah wahana bagi diskursus sosial dan filsafat di luar kepercayaan keagamaan. Meskipun hampir sama, namun ada perbedaan dengan kedua bentuk tersebut humanisme dan atheisme dengan rasionalisme. Rasionalisme atau gerakan rasionalis adalah sebuah faham atau aliran atau ajaran atau doktrin filsafat yang menyatakan bahwa kebenaran haruslah ditentukan melalui pembuktian, logika, dan analisis yang berdasarkan rasio, fakta, ide-ide yang masuk akal daripada analisis yang melalui iman, dogma, atau ajaran agama. Rasionalisme mempunyai kemiripan dari segi ideologi dan tujuan dengan humanisme dan atheisme, dalam hal bahwa mereka bertujuan untuk menyediakan sebuah wahana bagi diskursus sosial dan filsafat di luar kepercayaan keagamaan. Meskipun hampir sama, namun ada perbedaan dengan kedua bentuk tersebut humanisme dan atheisme dengan rasionalisme.
Berdasarkan Shidarta (1999), rasionalisme secara mendasar tidak menolak manfaat dari pengalaman indra dalam kehidupan manusia. Namun  persepsi indrawi hanya digunakan untuk merangsang kerja akal. Terbukti, akal manusia tidak secara langsung bergantung pada indra. Jika penangkapan indra diragukan oleh akal maka akal dapat langsung menolaknya. Keberadaan indra yang tidak mutlak terhadap rasio ini dapat meghasilkan pengetahuan yang tidak berasal dari indra, salah satu contoh adalah ilmu matematika. Dengan demikian, aliran ini memposisikan akal di atas  pengalaman indrawi Dengan kekuasaan akal tersebut, orang berharap akan lahir suatu dunia  baru yang lebih sempurna, dipimpin dan dikendalikan oleh akal sehat manusia. Kepercayaan terhadap akal ini sangat jelas terlihat dalam bidang filsafat, yaitu dalam bentuk suatu keinginan untuk menyusun secara a priori suatu sistem keputusan akal yang luas dan tingkat tinggi Corak berpikir yang sangat mendewakan kemampuan akal inilah dikenal dalam filsafat sebagai aliran rasionalisme.

Tokoh-tokohnya penggagas rasionalisme adalah :
1.      Rene Descartes (1596 -1650)
2.      Nicholas Malerbranche (1638 -1775)
3.      De Spinoza (1632 -1677 M)
4.      G.W.Leibniz (1946-1716)
5.      Christian Wolff (1679 -1754)
6.      Blaise Pascal (1623 -1662 M)

b.             Paham Empirisme
Empirisme berasal dari kata Yunaniempeirikos, artinya pengalaman. Aliran ini lahir dari Aristoteles yang mendapat pengaruh dari Plato yang menganut paham rasionalisme. Menurut Aritoteles, ilmu yang didapat merupakan hasil kegiatan manusia melalui banyak kenyataan serta  perubahannya. Proses kebenaran tersebut dicerna secara bertahap melalui  penilaian-penilaian hingga memperoleh kebenaran- kebenaran yang bersifat universal.
Aliran empirisme berpendapat bahwa manusia memperoleh pengetahuan melalui pengalaman yang diperoleh dari indrawi. Pengenalan tersebut dimunculkan oleh pemikir yang bernama Francois Bacon (1561-1626). Pengetahuan yang diperoleh berasal dari  pengalaman melalui proses pengenalan indrawi. Pengenalan ini diyakini sebagai yang paling jelas dan sempurna. Proses pengalaman yang diperoleh tersebut tidak lain akibat suatu objek yang meranwgsang alat-alat indrawi yang dipahami di dalam otak sehingga terbentuklah tanggapan-tanggapan mengenai objek yang telah merangsang alat-alat indrawi tersebut. Aliran ini menganggap pengalaman sebagai satu-satunya sumber dan dasar ilmu  pengetahuan. Menurut aliran ini gejala-gejala alamiah adalah bersifat konkret dan dapat dinyatakan melalui tangkapan panca indra manusia. Kaum empirisme mempergunakan logika induktif dalam menyususn pengetahuan yang berlaku secara umum melalui pengamatan terhadap gejala-gejala fisik yang bersifat  individual.
Tokoh-tokoh penggagas Empirisme adalah:
1.         Francis Bacon (1210 -1292)
2.         Thomas Hobbes ( 1588 -1679)
3.         John Locke ( 1632 -1704)
4.         George Berkeley ( 1665 -1753)
5.         David Hume ( 1711 -1776)
6.         Roger Bacon ( 1214 -1294).
Sumber ilmu pengetahuan untuk mengatahui hakekat segala sesuatu bagi masyarakat relegius tidak cukup dengan menggunakan panca indera dan akal saja tetapi ada dua unsur lain yaitu wahyu ( revelation) dan ilham (intuisi) sarana berpikir ilmiah untuk memperoleh pengetahuan.
1.      Intuisi
Intuisi merupakan pengetahuan yang didapat tanpa melalui proses penalaran tertentu, seperti orang yang sedang terpusat pemikirannya pada suatu masalah tiba-tiba menemukan jawabannya.  Intuisi bersifat personal dan tidak bisa diramalkan. Intuisi tidak dapat diramalkan sebagai dasar untuk menyususn pengetahuan secara teratur. Intuisi merupakan pengalaman puncak (menurut maslow). Sedangkan menurut Nietzsche intuisi merupakan intelegensi yang paling tinggi.
2.      Wahyu
Wahyu merupakan pengetahuan yang diperoleh bukan dari hasil usaha aktif manusia . Wahyu merupakan pengetahuan yang disampaikan oleh Tuhan kepada manusia. Wahyu dapat dipercaya atau tidak sangat ditentukan oleh kepercayaan masing-masing.
Pada dasarnya terdapat dua cara yang pokok bagi manusia untuk mendapatkan  pengetahuan yang benar. Pertama, mendasarkan diri pada rasional dan mendasarkan diri pada fakta. Disamping itu adanya intuisi dan wahyu. Intuisi merupakan pengetahuan yang didapat tanpa melalui proses penalaran tertentu, seperti ”orang yang sedang terpusat pemikirannya pada suatu masalah tiba-tiba menemukan jawabannya.
Salah satu pembahasan dalam epistimologi adalah sumber-sumber ilmu pengetahuan. Sumber pengetahuan pada masyarakat relegius berawal dari sesuatu yang sakral dan transenden. Tuhan merupakan sumber dan sebab pertama “causa prima” dari segala sesuatu. Manusia tidak akan menemukan kebenaran yang hakiki selama meninggalkan yang essensi ini.
Sumber ilmu pengetahuan untuk mengatahui hakekat segala sesuatu bagi masyarakat relegius tidak cukup dengan menggunakan panca indera dan akal saja tetapi ada dua unsur lain yaitu ” wahyu ( revelation) dan ilham (intuisi)”. Wahyu itu adalah salah satu dari wujud “Ketuhanan” dan ilham atau intuisi adalah termanifestasikan dalam diri para nabi dan rasul. Sehingga para agamawan mengatakan bahwa kitab suci (wahyu) merupakan sumber ilmu pengetahuan yang disampaikan oleh manusia pilihan Tuhan kepada umat manusia.
D.    Kriteria Kebenaran
Kebenaran adalah pernyataan tanpa ragu. Salah satu criteria kebenaran adalah adanya konsistensi dengan pernyataan terdahulu yang dianggap benar. Adapun beberapa criteria kebenaran, yaitu:
1.     Teori Koherensi
Suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan tersebut bersifat koheren dan konsisten dengan pernyataan- pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Contoh: “ semua manusia akan mati “ adalah suatu pernyataan yang benar, maka pernyataan bahwa “ agus adalah manusia dan agus pasti mati”. Adalah benar, sebab pernyataan yang kedua adalah konsisten dengan pernyataan yang pertama.


2.       Teori Korespondensi
Teori korespondensi dipelopori oleh Bertrand Russel (1872- 1970).
Dalam teori ini suatupernyataan dianggap benar apabila materi pengetahuan yang dikandungberkorespondensi dengan objek yang dituju oleh pernyataan tersebut.
3.      Teori Pragmatis
Teori pragmatismengatakan bahwa kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Artinya, pernyataan adalah benar, jika pernyataan itu atau konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia. Teori pragmatis digunakan oleh ilmuwan dalam menentukan kebenaran ilmiah dilihat dalam perspektif waktu.Contoh: jika dalam pembelajaran bahasa terdapat teori A kemudian dikembangkan dengan teknik B sebagai peningkatan aplikasi teori kebahasaan A itu maka teori A dianggap sebagai kebenaran karena berguna dalam aplikasi kehidupan berbahasa.
4.Ontologi
Ontologi terdiri dari dua suku kata, yakni ontos dan logos. Ontos berarti sesuatu yang berwujud (being) dan logos berarti ilmu. Jadi ontologi adalah bidang pokok filsafat yang mempersoalkan hakikat keberadaan segala sesuatu yang ada menurut tata hubungan sistematis berdasarkan hukum sebab akibat yaitu ada manusia, ada alam, dan ada kausa prima dalam suatu hubungan yang menyeluruh, teratur, dan tertib dalam keharmonisan. Ontologi dapat pula diartikan sebagai ilmu atau teori tentang wujud hakikat yang ada. Obyek ilmu atau keilmuan itu adalah dunia empirik, dunia yang dapat dijangkau panca indera. Dengan demikian, obyek ilmu adalah pengalaman inderawi. Dengan kata lain,  ontologi adalah ilmu yang mempelajari tentang hakikat sesuatu yang berwujud (yang ada) dengan berdasarkan pada logika semata.
 Ontologi Menurut Beberapa Tokoh Filsafat
Menurut istilah, ontologi adalah ilmu yang membahas tentang hakikat yang ada, yang merupakan ultimate reality baik yang berbentuk jasmani/konkret maupun rohani/abstrak.  Tokoh yang membuat istilah pertama ontologi adalah cristian wolff (1679-1714). Istilah ontologi berasal dari bahasa yunani, yaitu ta onta berarti “ yang berada”, dan logi berarti ilmu pengetahuan atau ajaran. Dengan demikian ontologi adalah ilmu pengetahuan atau ajaran tentang yang ada.
Berikut adalah pendapat tokoh filsafat mengenai ontologi diantaranya:
Ø  Aristoteles mengatakan The first Philosophy dan merupakan ilmu mengenai esensi benda.
Ø  Noeng Muhajir dalam bukunya Filsafat Ilmu mengatakan ontology membahas tentang yang ada yang universal dan tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu.
Ø  Lorens Bagus menjelaskan yang ada yang meliputi semua realitas dalam semua bentuknya.
Ø  Jujun S. Suriasumatri dalam Pengantar ilmu dalam Perspektif  mengatakan, ontologi membahas apa yang kita ingin ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, atau dengan perkataan lain, suatu pengkajian mengenai teori tentang ada.
Ø  A. Dardiri  dalam bukunya Humaniora, Filsafat dan Logika mengatakan ontologi adalah menyelidiki sifat dasar dari apa yang  nyata secara fundamental dan cara yang berbeda dimana entitas dari kategori-kategori yang logis yang berlainan (objek-objek fisis, hal universal,abstraksi) dapat dikatakan ada.
Ø  Sidi Gazalba dalam bukunya Sistematika Filsafat mengatakan, ontologi mempersoalkan sifat dan keadaan terakhir dari kenyataan.
Ø  Amsal Bakhtiar dalam bukunya Filsafat Agama I mengatakan, ontologi adalah teori/ilmu tetang wujud, tentang hakikat yang ada.
Ø  Menurut Suriasumantri (1985), Ontologi membahas tentang apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, atau, dengan kata lain suatu pengkajian mengenai teori tentang “ada”. Telaah ontologis akan menjawab pertanyaan-pertanyaan :
o   apakah obyek ilmu yang akan ditelaah,
o   bagaimana wujud yang hakiki dari obyek tersebut, dan
o   bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia (seperti    berpikir, merasa, dan mengindera) yang membuahkan pengetahuan.
Ø  Menurut Soetriono & Hanafie (2007)
o   Ontologi yaitu merupakan azas dalam menerapkan batas atau ruang lingkup wujud yang menjadi obyek penelaahan (obyek ontologis atau obyek formal dari pengetahuan) serta penafsiran tentang hakikat realita (metafisika) dari obyek ontologi atau obyek formal tersebut dan dapat merupakan landasan ilmu yang menanyakan apa yang dikaji oleh pengetahuan dan biasanya berkaitan dengan alam kenyataan dan keberadaan.
Ø  Menurut Pandangan The Liang Gie
o   Ontologi adalah bagian dari filsafat dasar yang mengungkap makna dari sebuah eksistensi yang pembahasannya meliputi persoalan-persoalan:
o   Apakah artinya ada, hal ada?
o   Apakah golongan-golongan dari hal yang ada?
o   Apakah sifat dasar kenyataan dan hal ada?
o   Apakah cara-cara yang berbeda dalam mana entitas dari kategori-kategori logis yang berlainan (misalnya objek-objek fisis, pengertian universal, abstraksi dan bilangan) dapat dikatakan ada.
Ø  Menurut Ensiklopedi Britannica Yang juga diangkat dari Konsepsi Aristoteles
o   Ontologi Yaitu teori atau studi tentang being / wujud seperti karakteristik dasar dari seluruh realitas. Ontologi sinonim dengan metafisika yaitu, studi filosofis untuk menentukan sifat nyata yang asli (real nature) dari suatu benda untuk menentukan arti , struktur dan prinsip benda tersebut. (Filosofi ini didefinisikan oleh Aristoteles abad ke-4 SM).

Beberapa ahli berpendapat bahwa ontologi adalah cabang dari metafisika, tetapi ada juga yang berpendapat bahwa ontologi identik dengan metafisika. Salah satu cabang ontologi adalah kosmologi. Wolff menggunakan filsafat ontologi untuk menunjuk bidang pemikiran spekulatif yang terletak antara lain:

1. Filsafat alam yang mempelajari asal-usul dan susunan dunia
2. Filsafat rohani atau psikologi yang mempelajari tentang pikiran.

  Aliran-Aliran Ontologi
Dalam mempelajari ontologi muncul beberapa pertanyaan yang kemudian melahirkan aliran-aliran dalam filsafat. Dari masing-masing pertanyaan menimbulkan beberapa sudut pandang mengenai ontologi. Pertanyaan itu berupa “Apakah yang ada itu? (What is being?)”, “Bagaimanakah yang ada itu? (How is being?)”, dan “Dimanakah yang ada itu? (What is being?)”.

1.        Apakah yang ada itu? (What is being?)
Dalam memberikan jawaban masalah ini lahir aliran filsafat, yaitu sebagai berikut :
a). Aliran Monoisme
Aliran ini berpendapat bahwa yang ada itu hanya satu, tidak mungkin dua. Haruslah satu hakikat saja sebagai sumber yang asal, baik yang asal berupa materi ataupun berupa ruhani. Tidak mungkin ada hakikat masing-masing bebas dan berdiri sendiri. Haruslah salah satunya merupakan sumber yang pokok dan dominan menentukan perkembangan yang lainnya. Plato adalah tokoh filsuf yang bisa dikelompokkan dalam aliran ini, karena ia menyatakan bahwa alam ide merupakan kenyataan yang sebenarnya. Istilah monisme oleh Thomas Davidson disebut dengan Block Universe. Paham ini kemudian terbagi ke dalam dua aliran, yaitu :
·         Materialisme
Aliran ini menganggap bahwa sumber yang asal itu adalah materi, bukan ruhani. Aliran ini sering juga disebut dengan naturalisme. Menurutnya bahwa zat mati merupakan kenyataan dan satu-satunya fakta. Aliran pemikiran ini  dipelopori oleh bapak filsafat yaitu Thales (624-546 SM). Ia berpendapat bahwa unsur asal adalah air, karena pentingnya bagi kehidupan. Anaximander (585-528 SM) berpendapat bahwa unsur asal itu adalah udara, dengan alasan bahwa udara merupakan sumber dari segala kehidupan. Demokritos (460-370 SM) berpendapat bahwa hakikat alam ini merupakan atom-atom yang banyak jumlahnya, tak dapat dihitung dan amat halus. Atom-atom itulah yang merupakan asal kejadian alam.
·         Idealisme
Idealisme diambil dari kata “idea” yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa.  Aliran ini menganggap bahwa dibalik realitas fisik pasti ada sesuatu yang tidak tampak. Bagi aliran ini, sejatinya sesuatu justru terletak dibalik yang fisik. Ia berada dalam ide-ide, yang fisik bagi aliran ini dianggap hanya merupakan bayang-bayang, sifatnya sementara, dan selalu menipu. Eksistensi benda fisik akan rusak dan tidak akan pernah membawa orang pada kebenaran sejati. Dalam perkembangannya, aliran ini ditemui dalam ajaran Plato (428-348 SM) dengan teori idenya. Menurutnya, tiap-tiap yang ada di dalam mesti ada idenya yaitu konsep universal dari tiap sesuatu. Alam nyata yang menempati ruangan ini hanyalah berupa bayangan saja dari alam ide itu. Jadi, idelah yang menjadi hakikat sesuatu, menjadi dasar wujud sesuatu.
b). Aliran Dualisme
Aliran ini berpendapat bahwa benda terdiri dari dua macam hakikat sebagai asal sumbernya, yaitu hakikat materi dan hakikat rohani, benda dan roh, jasad dan spirit. Kedua macam hakikat itu masing-masing bebas dan berdiri sendiri, sama-sama azali dan abadi. Hubungan keduanya menciptakan kehidupan dalam alam ini. Tokoh paham ini adalah Descartes (1596-1650 M) yang dianggap sebagai bapak filsafat modern.
c). Aliran Pluralisme
Aliran ini berpandangan bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan. Pluralisme bertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa segenap macam bentuk itu semuanya nyata. Pluralisme dalam Dictionary of Philosophy and Religion dikatakan sebagai paham yang menyatakan bahwa kenyataan alam ini tersusun dari banyak unsur, lebih dari satu atau dua entitas. Tokoh aliran ini pada masa Yunani Kuno adalah Anaxagoras dan Empedocles, yang menyatakan bahwa substansi yang ada itu terbentuk dan terdiri dari empat unsur, yaitu tanah, air, api, dan udara. Tokoh modern aliran ini adalah William James (1842-1910 M), yang mengemukakan bahwa tiada kebenaran yang mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri, dan lepas dari akal yang mengenal.

Metafisika, Asumsi dan Peluang
Metafisika
Tafsiran paling pertama dalam metafisika adalah : terdapat sifat/wujud gaib (supernaturalisme) yang umumnya ada pada pemikiran religi, baik yang sangat sederhana (animisme)   maupun pada religi modern. Lawan daripada supernaturalisme adalah naturalisme yang lebih menekankan kepada hal-hal yang ada dalam dunia nyata (materialis) yang dapat dipelajari dan diketahui. Contoh, seperti rasa manis, pahit panas, dingin, dan lain-lain adalah hal-hal yang yang indrawi. Rangsangan itu mengalir ke otak sehingga otak menyadari gejala tersebut. 
Apakah pikiran / kesadaran itu ? Sudah merupakan kenyataan yang tidak perlu diperdebatkan lagi bahwa proses berpikir manusia menghasilkan pengetahuan tentang zat (objek) yang ditelaahnya. Dalam hal ini ada dua aliran yang memiliki dua pemahaman yang berbeda yang dikemukakan Jujun, yaitu :
1.      Aliran monistik (tokoh Christian Wolff/1679-1754)
Aliran ini tidak membedakan antara pikiran dan zat, yang berbeda hanya dalam gejala yang dsebabkan oleh proses yang berlainan namun memililiki substansi yang sama.
Contoh : 
- Teori relativitas Einstein : bahwa energi adalah bentuk lain daripada zat
- Pandangan tentang robot-robot manusia dalam sandiwara terkenal karangan
  Karl Cape
     2.  Aliran dualitik (Thomas Hyde 1700)
Paham ini membedakan antara pikiran (kesadaran) dan zat. Filosof lain yang menganut paham ini adalah Rene Descrates (1596-1650), John Locke (1632-1714)  dan George Berkeley (1685-1735). Ketiga ahli filsafat berpendapat bahwa apa yang ditangkap oleh pikiran manusia adalah bersifat metal. Cagito ergo sum : saya berpikir maka saya ada, kata Descrates. Teori tabularasa : pikiran manusia pada mulanya diibaratkan seperti lempengan lilin yang licin yang dikembangkan oleh John Locke dan Berkeley dengan pernyataannya : To be is to be Perceived : ada adalah disebabkan persepsi.
Pada hakekatnya ilmu itu tidak dapat dilepaskan dari metafisika namun seberapa jauh kaitan itu semuanya tergantung kita. Ilmu merupakan pengetahuan yang mencoba menafsirkan alam ini sebagaimana adanya. Kalau memang itu tujuannya maka kita tidak bisa melepaskan diri dari masalah-masalah yang ada di dalamnya. Metafisika keilmuan yang berdasarkan  kenyataan yang sebagaimana adanya (das sein) menyebabkan ilmu menolak yang bersifat seharusnya (das Sollen). Ilmu justru merupakan pengetahuan yang biasa dijadikan alat untuk mewujudkan tujuan-tujuan yang mencerminkan das Sollen dengan jalan mempelajari das Sein agar dapat menjelaskan, meramalkan dan mengontrol gejala alam.
Asumsi
Bagaimana ilmu sampai pada pemecahan masalah dimulai dengan adanya dugaan. Ketika kita menduga-duga maka ada beberapa landasan yang menjadi dasar  timbulnya dugaan tersebut, yaitu :
1.      Determinisme yaitu hukum alam yang bersifat universal, paham ini dikembangkan loleh Wiliam Hamilton (1788-1856) dari doktirn Thomas Hobbes (1588-1679). Ajarannya merupakan lawan dari paham fatalisme yang berpendapat bahwa segala kejadian ditentukan oleh nasib yang telah ditetapkan terlebih dahulu.
2.      Pilihan bebas yaitu adanya hubungan sebab dan akibat dari setiap gejala. Manusia memiliki kebebasan untuk menentukan pilihannya tidak terikat pada hukum alam yang tidak memberikan alternative.
3.      Probabilitas yakni keumuman itu memang ada, namun berupa peluang maka timbullah apa yang disebut asumsi, bahwa hukum yang mengatur berbagai gejala ini memang ada.
4.      Hukum disini berarti aturan main atau pola kejadian yang gejalanya terjadi berulangkali. Untuk meletakkan ilmu dalam perspektif filsafat maka dibutuhkan suatu pengetahuan yang berada di tengah-tengah antara kemutlakan agama dan keunikan individu. Kompromi yang diusulkan ilmuwan inilah yang dipakai sebagai landasan ilmu. Jadi sebagai jalan tengah kita harus memilih Hukum Probabilitas. Yang tidak tergantung pada sesuatu  yang sifatnya universal (determinisme) juga pada sesuatu yang khas pada individu (pilihan bebas).

Peluang
Ilmu/science tidak berprentensi untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat mutlak. Ilmu memberikan pengetahuan sebagai dasar bagi saudara untuk mengambil keputusan dimana keputusan saudara harus didasarkan kepada penafsiran kesimpulan ilmiah yang bersifat relatif. Dengan demikian maka kata akhir dari suatu keputusan terletak di tangan saudara dan bukan pada teori-teori keilmuwan. Sebagai contoh : berdasarkan teori metereologi dan geofisika mengatakan  bahwa dengan probabilitas 0.8 besok tidak akan turun hujan. Apa artinya peluang 0,8  ini? Artinya probabilitas untuk turun hujan esok ada 8 dari 10 (yang merupakan kepastian) atau dengan kata lain : peluang 0,8 mencirikan bahwa pada 19 kali ramalan tentang akan jatuh hujan 8 kali memang hujan itu turun dan 2 kali ramalan itu meleset. Jika diaplikasikan pada :
1.      Jika saudara akan pergi piknik bersama keluarga apakah yang akan saudara lakukan?
2.      Bagaimana jika saudara pedagang garam? Apakah pilihan saudara ?

 Beberapa Asumsi Dalam Ilmu
Ada beberapa pandangan ilmiah terhadap sebuah objek pengamatan menurut Charles-Eugene Guye. Gejala ini timbul karena skala observasi yang berbeda. Contoh : seorang anak melihat pohon kelapa begitu besar dan tinggi, amuba melihat bidang datar itu seperti bergelombang. Sedangkan dalam fisika, perbedaan itu terdapat dalam fondasi dimana dibangun teori ilmiah di dalamnya yaitu asumsi tentang dunia fisikanya.
Dalam analisa secara mekanistik terdapat 4 komponen analistik yaitu : zat ruang, gerak dan waktu.  Newto berpendapat bahwa keempat komponen itu bersifat absolute. Einstein berbeda dengan Newton berpendapat bahwa keempat komponen iu bersifat relatif. Tidak mungkin mengukur gerak secara absolut, demikian juga dengan zat. Pada dasarnya ilmu tidak bermaksud mencari yang bersifat absolut karena adanya limit dalam kemampuan manusia untuk mengetahui dan meramalkan gejala-gejala fisik. Apakah kita perlu memberikan batasan dalam bentuk asumsi yang kian sempit ?. Jawabannya sederhana: karena ilmu ingin mendapatkan pengetahuan yang bersifat analitis maka pembatasan itu perlu. Oleh karena itu dalam pengembangan asumsi perlu diperhatikan beberapa hal, yaitu :
1.      Asumsi harus relevan dengan bidang dan tujuan pengkajian disiplin keilmuan.
2.      Asumsi harus disimpulkan dari keadaan sebagaimana adanya bukan bagaimana keadaan seharusnya.
3.      Seorang ilmuwan harus benar-benar mengenal asumsi yang digunakan dalam analisis keilmuannya.
 Batas-Batas Penjelasan Ilmu/science
Ruang penjelajahan keilmuan menjadi “kapling-kapling berbagai disiplin keilmuan. Kapling ini makin lama makin sempit dengan perkembangan kualitatif disiplin keilmuan. Dengan makin sempitnya daerah penjelajahan suatu bidang keilmuan maka seringkali diperlukan pandangan dari disiplin ilmu lain. Hasrat untuk menspesialisasikan diri pada suatu bidang telaahan yang memungkinkan analisis yang makin cermat dan seksama menyebabkan objek formal (objek ontologis) dari disiplin keilmuan menjadi kian terbatas.
Pada dasarnya cabang-cabang ilmu tersebut berkembang dari dua cabang utama yakni filsafat alam yang kemudian menjadi rumpun ilmu alam (the natural sciences) dan filsafat moral yang kemudian berkembang ke dalam cabang ilmu-ilmu sosial (the Social sciences). Berdasarkan dua cabang utama inilah kemudian berkembang cabang-cabang ilmu lain. Tiap-tiap cabang kemudian membuat ranting-ranting baru. Diperkirakan, saat ini terdapat 650 cabang keilmuan. Dari cabang-cabang ilmu ini dapat juga digolongkan  sebagai ilmu murni dan ilmu terapan.
5.Epistimologi
Istilah epistemologi didalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah “Theory of knowledge”. Epistemologi berasal dari kata “episteme” dan “logos”. Episteme berarti pengetahuan dan logos berarti teori. Ada beberapa pengertian epistemologi yang diungkapkan para ahli yang dapat dijadikan pijakan untuk memahami apa sebenarnya epistemologi itu.
Epistomologi atau teori pengetahuan ialah cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dan dasar-dasarnya serta pertanggungjawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki.
Secara linguistik kata “Epistemologi” berasal dari bahasa Yunani yaitu: kata “Episteme” dengan arti pengetahuan dan kata “Logos” berarti teori, uraian, atau alasan. Epistemologi dapat diartikan sebagai teori tentang pengetahuan yang dalam bahasa Inggris dipergunakan istilah theory of knowledge. Istilah epistemologi secara etimologis diartikan sebagai teori pengetahuan yang benar dan dalam bahasa Indonesia disebut filsafat pengetahuan. Secara terminologi epistemologi adalah teori mengenai hakikat ilmu pengetahuan atau ilmu filsafat tentang pengetahuan.
Masalah utama dari epistemologi adalah pertanyaan yang mendasar apakah sumber dan dasar pengetahuan, apakah pengetaguan itu adalah kebenaran yang pasti, bagaimana cara memperoleh pengetahuan. Sebenarnya seseorang baru dapat dikatakan berpengetahuan apabila telah sanggup menjawab pertanyaan-pertanyaan epistemologi artinya pertanyaan epistemologi dapat menggambarkan manusia mencintai pengetahuan. Hal ini menyebabkan eksistensi epistemologi sangat urgen untuk menggambar manusia berpengetahuan yaitu dengan jalan menjawab dan menyelesaikan masalah-masalah yang dipertanyakan dalam epistemologi. Makna pengetahuan dalam epistemologi adalah nilai tahu manusia tentang sesuatu sehingga ia dapat membedakan antara satu ilmu dengan ilmu yang lainnya.
Jadi, Epistemologi dapat didefinisikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari asal mula atau sumber, struktur, metode dan sahnya (validitasnya) pengetahuan. Pada epistemologi lebih memfokuskan pada permasalahan cara mendapatkan ilmu.
Menurut teori pengetahuan epistemologi pengetahuan manusia ada tiga macam, yaitu pengetahuan Sains, pengetahuan Filsafat, dan pengetahuan Mistik. Pengetahuan itu di peroleh manusia melalui berbagai cara dan dengan menggunakan berbagai alat. Yang terkait dengan epistemologi antara lain; logika, filsafat bahasa, analisis wacana, dan matematika.

Objek danTujuan Epistemologi
Sebagai subsistem filsafat, epistemologi atau teori pengetahuan yang untuk pertama kali digagas oleh Plato ini memiliki objek tertentu. Objek epistemologi ini menurut Suriasuamantri berupa “segenap proses yang terlibat dalam usaha kita untuk memperoleh pengetahuan.” Proses untuk memperoleh pengetahuan inilah yang mejadi sasaran teori pengetahuan dan sekaligus berfungsi mengantarkan tercapainya tujuan, sebab sasaran itu merupakan suatu tahap perantara yang harus dilalui dalam mewujudkan tujuan. Tanpa suatu sasaran, mustahil tujuan bisa terealisir, sebaliknya tanpa suatu tujuan, maka sasaran menjadi tidak terarah sama sekali.
Jacques Martain mengatakan, “tujuan epistemologi bukanlah hal yang utama untuk menjawab pertanyaan, apakah saya dapat tahu, tetapi untuk menemukan syarat-syarat yang memungkinkan saya dapat tahu.”hal ini menunjukkan, bahwa tujuan epistemologi bukan untuk memperoleh pengetahuan kendatipun keadaan ini tak bisa dihindari akan tetapi yang menjadi pusat perhatian dari tujuan epistemologi adalah hal lebih penting dari itu, yaitu ingin memiliki potensi untuk memperoleh pengetahuan. 
Berbagai cara telah dilakukan pada masa Yunani kuno dalam rangka memperoleh ilmu dan kebenarannya. Mulai dari perenungan, pengalaman, eksperimen dan sebagainya.semua itu dilakukan hanya untuk mencari kepuasan terhadap gejala yang tampak. Sehingga pada akhirnya Filsafat berhasil mebawa peradaban manusia pada kemajuan.

Landasan Epistemologi
Landasan epistemologi ilmu disebut metode ilmiah, yaitu cara yang dilakukan ilmu dalam menyusun pengetahuan yang benar. Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Jadi, ilmu pengetahuan merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat metode ilmiah. Tidak semua pengetahuan disebut ilmiah, sebab ilmu merupakan pengetahuan yang cara mendapatkannya harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu pengetahuan bisa disebut ilmu yakni tercantum dalam metode ilmiah.
Metode ilmiah berperan dalam tataran transformasi dari wujud pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan. Bisa tidaknya pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan  sangat bergantung pada metode ilmiah. Dengan demikian metode ilmiah selalu disokong oleh dua pilar pengetahuan, yaitu rasio dan fakta secara integratif.
      Pengetahuan yang diperoleh oleh manusia melalui akal, indera mempunyai metode tersendiri dalam teori pengetahuan, di antaranya adalah:

1. Metode induktif
            Induksi merupakan suatu metode yang menyimpulkan pernyataan-pernyataan hasil observasi disimpulkan dalam suatu pernyataan yang lebih umum. Menurut David Hume, (1711-1716), pernyataan yang berdasarkan observasi tunggal betapa pun besar jumlahnya, secara logis tak dapat menghasilkan suatu pernyataan umum yang tak terbatas.

2. Metode Deduktif
            Deduksi merupakan  suatu metode yang menyimpulkan bahwa data empirik diolah lebih lanjut dalam suatu sistem pernyataan yang runtut. Hal-hal yang harus ada dalam metode deduktif ialah adanya perbandingan logis antara kesimpulan-kesimpulan itu sendiri.

3. Metode Positivisme
            Metode ini dikeluarkan oleh August Comte, (1798-1857). Metode ini berpangkal dari apa yang telah diketahui, yang faktual, yang positif. Ia menyampaikan segala uraian atau persoalan di luar yang ada sebagai fakta.
            Menurut Comte perkembangan pemikiran manusia berlangsung dalam tiga tahap yaitu teologis, metofisis, dan positif.



4. Metode Kontemplatif
            Metode ini mengatakan adanya keterbatasan indera dan akal manusia untuk memperoleh pengetahuan sehingga objek yang dihasilkan pun berbeda-beda harusnya dikembangkan suatu kemampuan akal yang disebut dengan intuisi.

5. Metode Dialektis
            Merupakan metode tanya jawab untuk mencapai kejernihan filsafat. Dalam melakukan penelitian ilmiah, para ilmuwan berusaha memahami alam dan manusia, termasuk hubungan antarmanusia secara objektif melalui eksplorasi dan aegumentasi. Selanjutnya, pengembangan ilmu dilakukan melalui pembentukan teori melalui penelitian tersebut.

Pengaruh Epistemologi
Secara global epistemologi berpengaruh terhadap peradaban manusia. Suatu peradaban sudah tentu dibentuk oleh teori pengetahuannya. Epistemologilah yang menentukan kemajuan sains dan teknologi. Epistemologi menjadi modal dasar dan alat strategis dalam merekayasa pegembangan alam menjadi sebuah produk sains yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Demikian halnya yang terjadi pada teknologi meskipun teknologi sebagai penerapan sains, tetapi jika dilacak lebih jauh ternyata teknologi sebagai akibat dari pemanfaatan dan pengembangan epistemologi. 
Dalam epistemologi juga membahas paradigm antara penelitian dalam sains atau ilmu kealaman dan penelitian dalam ilmu social. Paradigm penelitian seorang ilmuwan adalah pandangannya tentang penelitian yang memberikan pedoman bagi ilmuwan tersebut dalam melakukan penelitian-penelitian ilmiahnya. Ada dua paradigm yang merupakan dua kutub, yaitu paradigm positivistis atau scientific paradigm dan paradigm naturalistis.
Pandangan dari  scientific paradigm adalah paradigma ilmiah, namun tidak berarti bahwa paradigma yang lain tidak ilmiah. Para ilmuwan yang memiliki paradigma positivistis, yakni yang melakukan penelitian bidang ilmu kealaman, memandang realitas sebagai fragmen-fragmen yang mudah diisolasi dari lingkungannya. Yang diteliti merupakan obyek dari peneliti, dan tidak ada saling ketergantungan. Di lain pihak, para peneliti bidang sosial memiliki paradigma naturalisris, karena fenomena yang dikaji harus bersifat wajar atau alami. Persoalan di masyarakat merupakan multikasual, sangat kompleks dan selalu ada interelasi antara peneliti dan yang diteliti. Yang diteliti biasanya disebut subyek penelitian dan bukan obyek penelitian. Hasil penelitian biasanya dikomunikasikan dan didiskusikan di antara para ilmuwan yang menekuni bidang yang sama.

6.Aksiologi
              Pengertian aksiologi menurut bahasa berasal dari bahasa yunani "axios" yang berarti bermanfaat dan “logos” berarti ilmu pengetahuan atau ajaran. Secara istilah, aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai yang ditinjau dari sudut kefilsafatan. Sedangkan Sarwan menyatakan bahwa aksiologi adalah studi tentang hakikat tertinggi, realitas, dan arti dari nilai-nilai (kebaikan, keindahan, dan kebenaran). Dengan demikian aksiologi adalah studi tentang hakikat tertinggi dari nilai-nilai etika dan estetika. Dengan kata lain, apakah yang baik atau bagus itu. 
              Definisi lain mengatakan bahwa aksiologi adalah suatu pendidikan yang menguji dan mengintegrasikan semua nilai tersebut dalam kehidupan manusia dan menjaganya, membinanya di dalam kepribadian peserta didik.
              Jadi Aksiologi adalah bagian dari filsafat yang menaruh perhatian tentang baik dan buruk (good and bad), benar dan salah (right and wrong), serta tentang cara dan tujuan (means and and). Aksiologi mencoba merumuskan suatu teori yang konsisten untuk perilaku etis.
Menurut Bramel Aksiologi terbagi tiga bagian :
1.      Moral Conduct, yaitu tindakan moral, Bidang ini melahirkan disiplin khusus yaitu etika.
2.      Estetic expression, yaitu ekspresi keindahan, bidang ini melahirkan keindahan
3.      Socio-politcal life, yaitu kehidupan social politik, yangakan melahirkan filsafat social politik.
              Dalam Encyslopedia of philosophy dijelaskan aksiologi disamakan dengan value and valuation :
1.      Nilai digunakan sebagai kata benda abstrak, Dalam pengertian yang lebih sempit seperti baik, menarik dan bagus. Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas mencakup sebagai tambahan segala bentuk kewajiban, kebenaran dan kesucian.
2.      Nilai sebagai kata benda konkret. Contohnya ketika kita berkata sebuah nilai atau nilai-nilai. Ia sering dipakai untuk merujuk kepada sesuatu yang bernilai, seperti nilainya atau nilai dia.
3.      Nilai juga dipakai sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilai atau dinilai.
              Dari definisi aksiologi di atas, terlihat dengan jelas bahwa permasalahan utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada masalah etika dan estetika. 
A.      Aksiologi Dalam Pendidikan 
              Penerapan aksiologi sebagai nilai-nilai dalam dunia pendidikan dapat dikemukakan sebagai berikut:
1.      Aliran filsafat progressivisme
              Aliran ini telah memberikan sumbangan yang besar terhadap dunia pendidikan karena meletakkan dasar-dasar kemerdekaan, dan kebebasan kepada anak didik. Oleh karena itu, filsafat ini tidak menyetujui pendidikan yang otoriter. Sebab pendidikan otoriter akan mematikan potensi pebelajar untuk mengembangkan potensinya.  
              Sekolah yang ideal adalah sekolah yang pelaksanaan pendidikannya terintegrasi dengan lingkungannya. Sekolah adalah bagian dari masyarakat, sehingga harus diupayakan pelestarian karakteristik lingkungan sekolah atau daerah tempat sekolah itu berada dengan prinsip learning by doing (belajar dengan berbuat). Tegasnya, sekolah bukan hanya berfungsi sebagai transfer of knowledge (pemindahan pengetahuan), melainkan juga sebagai transfer of value (pendidikan nilai-nilai) sehingga anak menjadi terampil dan berintelektual. 
2.      Aliran essensialisme
              Aliran ini berpandangan bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai budaya yang telah ada sejak awal peradaban manusia. Kebudayaan yang diwariskan kepada kita telah teruji oleh seluruh zaman, kondisi, dan sejarah. Kesalahan kebudayaan modern sekarang menurut aliran ini ialah cenderung menyimpang dari nilai-nilai yang diwariskan itu. 
             

3.      Aliran perenialisme
              Aliran ini berpandangan bahwa pendidikan sangat dipengaruhi oleh pandangan tokoh-tokoh seperti Plato, Aristoteles, dan Thomas Aquinas. Menurut Plato manusia secara kodrati memiliki tiga potensi yaitu nafsu, kemauan, dan pikiran. Pendidikan hendaknya berorientasi pada potensi itu dan kepada masyarakat, agar kebutuhan yang ada pada setiap lapisan masyarakat dapat terpenuhi. Sedangkan Aristoteles lebih menekankan pada dunia kenyataan. Tujuan pendidikan adalah kebahagian untuk mencapai tujuan itu, maka aspek jasmani, emosi dan intelektual harus dikembangkan secara seimbang.  
4.      Aliran rekonstruksionisme
              Aliran ingin merombak kebudayaan lama dan membangun kebudayaan baru melalui lembaga dan proses pendidikan. Perubahan ini dapat terwujud bila melalui usaha kerja sama semua umat manusia atau bangsa-bangsa. Masa depan umat manusia adalah suatu dunia yang diatur dan diperintah oleh rakyat secara demokratis, bukan dunia yang dikuasai oleh suatu golongan. Cita-cita demokrasi yang sebenarnya bukan hanya dalam teori melainkan harus menjadi kenyataan, dan terlaksana dalam praktik. Hanya dengan demikian dapat pula diwujudkan satu dunia yang dengan potensi-potensi teknologi mampu meningkatkan kesehatan, kesejahteraan, kemakmuran, keamanan, dan jaminan hukum bagi masyarakat, tanpa membedakan warna kulit, nasionalitas, kepercayaan, dan agama.
     
Aksiologi : Nilai Kegunaan Ilmu
              Dalam aksiologi, hal yang paling dipermasalahkan ialah nilai. Disini nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Selanjutnya, aksiologi dijelaskan sebagai kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia. Teori tentang nilai dalam filsafat dibagi menjadi permasalahan etika dan estetika.
              Etika dimaknai sebagai suatu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan-perbuatan manusia. Etika menilai perbuatan manusia yang berkaitan erat dengan norma-norma kesusilaan manusia atau diartikan untuk  mempelajari tingkah laku manusia ditinjau dari segi baik dan tidak baik didalam suatu kondisi yang normatif, yaitu suatu kondisi yang melibatkan norma-norma. Sedangkan estetika berkaitan dengan nilai tentang pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan fenomena di sekelilingnya. Dalam filsafat estetika dapat dilihat pada sudut indah dan jeleknya.
              Nilai subjektif dapat bersifat subjektif dan objektif. Nilai dapat bersifat subjektif jika selalu memperhatikan berbagai pandangan yang dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan, intelektualitas. Hasil nilai subjektif selalu akan mengarah kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang. Misalnya, seorang melihat matahari yang sedang terbenam disore hari. Akibat yang dimunculkannya adalah menimbulkan rasa senang karena melihat betapa indahnya matahari terbenam itu. Ini merupakan nilai yang subjektif dari seseorang dengan orang lain memiliki kualitas yang berbeda. Sedangkan Nilai objektif muncul karena adanya pandangan dalam filsafat tentang objektivisme. Objektivisme ini didasarkan suatu gagasan berada pada objeknya, sesuatu yang memiliki kadar secara realitas benar-benar ada. Misalnya, kebenaran tidak tergantung pada pendapat individu, melainkan pada objektivitas fakta.
science dan Moral
              Kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa peradaban manusia sangat tergantung pada science dan teknologi. Berkat adanya kemajuan pesat dalam bidang tersebut, segala kebutuhan manusia dapat terpenuhi dengan baik. Dewasa ini, science sudah masuk pada aspek reproduksi dan penciptaan manusia itu sendiri sehingga hal ini mungkin dapat mengubah hakikat manusia itu sendiri. Hal inipun memunculkan pertanyaan dari beberapa pihak tentang kenyataan seharusnya. Dan untuk menjawab hal ini para ilmuwan/scientist berpaling pada hakikat moral.
              Pada dasarnya perkembangan ilmu tidak terlepas dari berbagai masalah moral. Ketika seorang ahli Copernicus mengajukan teorinya tentang kesemestaan alam yang menerangkan bahwa “bumi yang berputar mengelilingi matahari” hal ini bertentangan dengan apa yang diajarkan oleh agama, maka timbullah interaksi antara ilmu dan moral yang bersumber pada ajaran agama. Galileo Galilei pun juga berpendapat demikian. Hal ini menyebabkan pengadilan agama memaksa ahli tersebut untuk mencabut pernyataannya ataupun mendapat hukuman mati.
              Oleh karena itu, para ilmuwan berusaha berjuang untuk menegakkan ilmu atau mengembangkannya sebagaimana kenyataannya. Setelah hampir berjuang selama 250 tahun akhirnya para ilmuwan mendapat kebebasan untuk mengembangkan ilmu dengan melakukan penelitian dalam mempelajari alam sebagaimana adanya.
              Dengan adanya kebebasan untuk mengembangkan ilmu secara luas, muncullah konsep – konsep ilmiah yang cenderung abstrak sehingga berubah menjadi bentuk konkret yang berupa teknologi. Teknolgi disini ialah penerapan ilmu untuk memecahkan masalah. Teknologi bukan hanya  untuk mempelajari dan memahami berbagai faktor yang berkaitan dengan masalah-masalah manusia, tetapi juga untuk mengontrol dan mengarahkannya. Hal ini merupakan akhir dari ketersinggungan ilmu dengan moral.
              Pada tahap selanjutnya, ilmu kembali dikaitkan dengan masalah moral yang berbeda. Yaitu berkaitan dengan penggunaan pengetahuan ilmiah. Maksudnya terdapat beberapa penggunaan teknologi yang cenderung merusak kehidupan manusia itu sendiri. Dalam menghadapi masalah ini, para ilmuwan terbagi menjadi dua pandangan. Pandangan pertama membagi science yang bersifat netral dan terbebas dari berbagai masalah yang dihadapi pengguna. Sedangkan pandangan yang kedua menjelaskan bahwa netralitas science tergantung proses penemuan science saja dan tidak pada penggunaannya. Namun pada pemilihan objek penelitian, kegiatan penelitian tergantung pada asas – asas moral.
Kelompok ini mendasarkan pandangannya pada beberapa hal, yakni:
1.    science secara faktual telah digunakan oleh manusia yang dibuktikan dengan adanya dua perang dunia yang menggunakan teknologi keilmuwan.
2.    science telah berkembang dengan pesat dan para ilmuwan lebih mengetahui akibat-akibat yang mungkin terjadi serta pemecahan-pemecahannya, bila terjadi penyalagunaan.
              Berbicara masalah science dan moral memang sudah umum, keduanya saling berkaitan. science bisa menjadi malapetaka kemanusiaan jika seseorang yang memanfaatkannya tidak bermoral atau paling tidak mengindahkan nilai-nilai moral yang ada. Tapi sebaliknya science akan menjadi rahmat bagi kehidupan manusia jika dimanfaatkan secara benar dan tepat, tentunya tetap mengindahkan aspek moral. Dengan demikian kekuasaan science ini mengharuskan seseorang ilmuan yang memiliki landasan moral yang kuat, ia harus tetap memegang idiologi dalam mengembangkan dan memanfaatkan keilmuannya. Tanpa landasan dan pemahaman terhadap nilai-nilai moral, maka seorang ilmuwan bisa menjadi bencana yang setiap saat bisa membahayakan manusianitu sendiri, artinya bencanam dapat membayangi kehidupannya.
B.      Tanggung Jawab Sosial Keilmuwan
              science merupakan hasil karya ilmuwan yang dikomunikasikan dan dikaji secara terbuka oleh masyarakat. Jika hasil karyanya itu memenuhi syarat – syarat keilmuwan maka pasti akan diterima dan disunakan oleh masyarakat. Oleh karena itu, ilmuwan memiliki tanggung jawab sosial yang besar. Tanggung jawab sosial seorang ilmuwan adalah memberikan perspektif yang benar: untung dan rugi, baik dan buruknya, sehingga penyelesaian yang objektif dapat dimungkinkan. Hal ini dikarenakan dia mempunyai fungsi tertentu dalam kelangsungan hidup manusia. Ilmuwan juga meniliki fungsi untuk ikut bertanggung jawab agar produk keilmuwan sampai dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Sikap sosial seorang ilmuan adalah konsisten dengan proses penelaahan keilmuan yang dilakukan. Ilmuwan juga harus berusaha mempengaruhi opini masyarakat berdasarkan pemikirannya. Ilmuwan juga mempunyai cara berpilir yang berbeda dari masyarakat awam. Masyarakat awam biasanya terpukau oleh jalan pikiran yang cerdas. Kelebihan seorang ilmuwan juga nampak dalam cara berpikir yang cermat dan teratur yang menyebabkan dia mempunyai tanggung jawab sosial.
              Tanggung jawab sosial seorang ilmuwan adalah memberikan perspektif yang benar: untung dan rugi, baik dan buruknya, sehingga penyelesaian yang objektif dapat dimungkinkan. Dibidang etika tanggungjawab sosial seseorang ilmuwan bukan lagi memberi informasi namun memberi contoh.Seorang ilmuwan juga harus bersifat obyektif, terbuka, menerima kritik dan pendapat orang lain, kukuh dalam pendiriannya, dan berani mengakui kesalahannya. Seorang ilmuwan secara moral tidak akan membiarkan hasil penelitian atau penemuannya dipergunakan untuk menindas bangsa lain meskipun yang mempergunakan bangsanya sendiri.
C.      Nuklir dan Pilihan Moral
Seorang ilmuwan secara moral tidak akan membiarkan hasil penemuannya dipergunakan untuk menindas bangsa lain. Para ilmuwan bersifat netral pada hal kemanusiaan. Mereka tegak dan bersuara sekiranya kemanusiaan memerlukan mereka. Suara para ilmuwan bersifat universal untuk mengatasi golongan, ras, sistem kekuasaan, agama, dan rintangan lainnya yang bersifat sosial. Salah satu musuh manusia adalah peperangan yang akan menyebabkan kehancuran, pembunuhan, kesengsaraan, peperangan merupakan fakta dari sejarah. Tugas para ilmuwan ialah untuk mengecilkan atau menghilangkan terjadi peperangan walaupun hal ini sangat mustahil. Tetapi, seorang ilmuwan Einstein tak jemu menyerukan agar manusia menghentikan peperangan.
Pengetahuan merupakan kekuasaan, kekuasaan yang dapat dipakai untuk kemaslahatan kemanusiaan, atau sebaliknya disalahgunakan. Seorang ilmuwan tidak boleh menyembunyikan hasil penemuan – penemuannya dalam bentuk apapun dari masyarakat luas serta apapun juga yang akan menjadi konsekuensinya. Seorang ilmuwan yang berlandaskan moral akan memilih untuk membuktikan bahwa generasi muda kita berkesadaran tinggi atau membuktikan bahwa hasil pembangunan itu efektif maka dalam penemuannya dia bersifat netral dan membebaskan diri dari semua keterikatannya yang membelenggu dia secara sadar atau tidak. Kenetralan dalam ilmu menjadikannya bersifat universal. science mengabdi kemanusiaan dengan ilmiah. Kemanusiaan seorang ilmuwan tidak terlepas oleh ruang bahkan waktu. Penemuan yang kurang relevan dan tidak gunanya hari ini akan menjadi batu loncatan menuju masa depan.
D.     Revolusi Genetika
science dalam persfektif sejarah kemanusiaan mempunyai puncak kecemerlangan masing- masing, namun seperti kotak Pandora yang terbuka kecemerlangan itu membawa malapetaka. Dengan penelitian genetika, kita tak lagi menelaah organ – organ manusia dalam upaya untuk menciptakan teknologi kemudahan, melainkan manusia sendiri sekarang menjadi objek penelaahan yang akan menghasilkan bukan lagi teknologi yang memberikan kemudahan, melainkan teknologi yang akan merubah manusia itu sendiri.
Rekayasa yang cenderung menimbulkan gejala anti kemanusiaan (dehumanisme) dan mengubah hakikat kemanusiaan. Hal ini menyebabkan kekhawatiran disekitar batas dan wewenag pengembangan science, disamping tanggung jawab dan moral ilmwuan. Jika ilmuwan  melakukan telaahan terhadap organ tubuh manusia, seperti jantung dan ginjal barangkali hal itu tidak menjadi masalah terutama jika kajian itu bermuara pada penciptaan teknologi yang dapat merawat atau membantu fungsi- fungsi organ tubuh manusia. Tapi jika sains mencoba mengkaji hakikat manusia dan cenderung mengubah proses penciptaan manusia. Seperti kasus dalam kloning, bayi tabung sehingga hal inilah yang menimbulkan pertanyaan disekitar batas dan wewenang penjelajahan ilmu.


7.Sarana Berpikir Ilmiah
Sarana berpikir ilmiah merupakan alat untuk membantu kegiatan ilmiah melalui berbagai langkah. Menurut Salam, berpikir ilmiah adalah proses atau aktivitas manusia untuk menemukan ilmu. Menurut suriasumantri berpikir ilmiah adalah kegiatan akal untuk memperoleh pengetahuan yang benar. Berpikir ilmiah adalah kegiatan akal yang menggabungkan induksi dan deduksi.  Menurut Kartono. Berpikir ilmiah, yaitu berpikir dalam hubungan yang luas dengan pengertian yang lebih komplek disertai pembuktian-pembuktian. Menurut Eman Sulaeman. Berfikir ilmiah merupakan proses berfikir/pengembangan pikiran yang tersusun secara sistematis yang berdasarkan pengetahuan-pengetahuan ilmiah yang sudah ada.
Dengan demikian sarana berpikir ilmiah adalah perangkat atau alat yang secara langsung digunakan untuk memperoleh pengetahuan secara ilmiah disertai dengan pembuktian-pembuktian. 
Berfikir merupakan ciri utama bagi manusia. Berfikir disebut juga sebagai proses bekerjanya akal. Secara garis besar berfikir dapat dibedakan antara berfikir alamiah dan berfikir ilmiah. Berfikir alamiah adalah pola penalaran yang berdasarkan kehidupan sehari-hari dari pengaruh alam sekelilingnya. Berfikir ilmiah adalah pola penalaran berdasarkan sarana tertentu secara teratur dan cermat. Harus disadari bahwa tiap orang  mempunyai kebutuhan untuk berpikir serta menggunakan akalnya semaksimal mungkin
Seseorang yang tidak berpikir berada sangat jauh dari kebenaran dan menjalani sebuah kehidupan   yang penuh kepalsuan dan kesesatan. Akibatnya ia tidak akan mengetahui tujuan penciptaan  alam, dan arti keberadaan dirinya di dunia. Banyak yang beranggapan bahwa untuk “berpikir secara mendalam”, seseorang perlu memegang kepala dengan kedua telapak tangannya, dan menyendiri di sebuah ruangan yang sunyi, jauh dari keramaian dan segala urusan yang ada. Sungguh, mereka telah menganggap “berpikir secara mendalam” sebagai sesuatu yang memberatkan dan menyusahkan. Mereka berkesimpulan bahwa pekerjaan ini hanyalah untuk kalangan “filosof”. Bagi seorang ilmuan penguasaan sarana berfikir ilmiah merupakan suatu keharusan, karena tanpa adanya penguasaan sarana ilmiah, maka tidak akan dapat melaksanakan kegiatan ilmiah dengan baik. Sarana ilmiah pada dasarnya merupakan alat untuk membantu kegiatan ilmiah dengan berbagai langkah yang harus ditempuh.
Sarana berpikir ilmiah pada dasarnya ada tiga, yaitu : bahasa ilmiah, logika dan matematika, logika dan statistika. Bahasa ilmiah berfungsi sebagai alat komunikasi untuk menyampaikan jalan pikiran seluruh proses berfikir ilmiah. Logika dan matematika mempunyai peranan penting dalam berfikir deduktif sehingga mudah diikuti dan mudah dilacak kembali kebenarannya. Sedang logika dan statistika mempunyai peranan penting dalam berpikir induktif dan mencari konsep-konsep yang berlaku umum
Fungsi berfikir ilmiah , sebagai alat bantu untuk mencapai tujuan dalam kaitan kegiatan ilmiah secara keseluruhan. Dalam hal ini berpikir ilmiah merupakan alat bagi cabang-cabang ilmu untuk mengembangkan materi pengetahuaannya berdasarkan metode ilmiah.
Selain berpikir ilmiah, terdapat dua contoh lain dimana sebuah kegiatan berfikir tidak dapat disebut sebagai penalaran. Keduanya adalah berfikir dengan intuisi dan berfikir berdasarkan wahyu. Intuisi adalah kegiatan berfikir manusia, yang melibatkan pengalaman langsung dalam mendapatkan suatu pengetahuan. Namun, intuisi tidak memiliki pola fikir tertentu, sehingga ia tidak dapat dikategorikan sebagai kegiatan penalaran. Sebagai misal, seorang Ayah merasa tidak tenang dengan kondisi anaknya yang sedang menuntut ilmu di luar kota. Tetapi ketika ditanyakan apa sebab yang menjadi dasar ketidaktenangan dirinya, sang Ayah tidak dapat menyebutkannya dan hanya beralasan bahwa perasaannya menyatakan ada yang tidak beres dengan si anak yang ada di luar kota. Setelah menyusul ke tempat anaknya, ternyata si anak sedang sakit parah. Meskipun proses berfikir sang Ayah mendapatkan kebenaran, tetapi tidak bisa disebut berfikir ilmiah, karena tidak memenuhi suatu logika tertentu dan terlebih lagi tidak terdapat proses analitis terdapat peristiwa ini.
Uraian mengenai hakikat berfikir ilmiah atau kegiatan penalaran memperlihatkan bahwa pada dasarnya, kegiatan berfikir adalah proses dasar dari pengetahuan manusia. kita membedakan antara pengetahuan yang ilmiah dan pengetahuan non-ilmiah. Hanya saja, pemahaman kita tentang berfikir ilmiah belum dapat disebut benar. Perbedaan berfikir ilmiah dari berfikir non-ilmiah memiliki perbedaan dalam dua faktor mendasar yaitu:
  1. Sumber pengetahuan
Berfikir ilmiah menyandarkan sumber pengetahuan pada rasio dan pengalaman manusia, sedangkan berfikir non-ilmiah (intuisi dan wahyu) mendasarkan sumber pengetahuan  pada perasaan manusia.
  1. Ukuran kebenaran
Berfikir ilmiah mendasarkan ukuran kebenarannya pada logis dan analitisnya suatu pengetahuan, sedangkan berfikir non-ilmiah (intuisi dan wahyu) mendasarkan kebenaran suatu pengetahuan pada keyakinan semata.
PERAN BAHASA DALAM SARANA BERPIKIR ILMIAH
Bahasa merupakan alat komunikasi verbal yang dipakai dalam seluruh proses berpikir ilmiah. Definisi bahasa menurut Suriasumantri menyebut bahasa sebagai serangkaian bunyi dan lambang yang membentuk makna. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diterangkan bahwa bahasa ialah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang dipergunakan oleh para anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri.  Jadi bahasa menekankan pada bunyi, lambang, sistematika, komunikasi.
Kelemahan bahasa dalam menghambat komunikasi ilmiah yaitu :
Bahasa mempunyai multifungsi (ekspresif, konatif, representasional, informatif, deskriptif, simbolik, emotif, afektif) yang dalam praktiknya sukar untuk dipisah-pisahkan. Akibatnya, ilmuwan sukar untuk membuang faktor emotif dan afektifnya ketika mengomunikasikan pengetahuan informatifnya.
Keunikan manusia bukanlah terletak pada kemampuannya berfikir melainkan terletak pada kemampuannya berbahasa. Oleh karena itu, Ernest menyebut manusia sebagai Animal Symbolycum, yaitu makhluk yang mempergunakan symbol. Bahasa Sebagai sarana komunikasi maka segala  yang berkaitan dengan komunikasi tidak terlepas dari bahasa, seperti berfikir sistematis dalam menggapai ilmu dan pengetahuan. Dengan kata lain, tanpa mempunyai kemampuan berbahasa, seseorang tidak dapat melakukan kegiatan berfikir sebagai secara sistematis dan teratur.  Dengan kemampuan kebahasaan akan terbentang luas cakrawala berfikir seseorang dan tiada batas dunia. Yang dimaksud bahasa disini ialah bahasa ilmiah yang merupakan sarana komunikasi ilmiah yang ditujukan untuk menyampaikan informasi yang berupa pengetahuan, syarat-syarat bebas dari unsur emotif, reproduktif, obyektif dan eksplisit. Peran bahasa disini adalah sebagai alat komunikasi untuk menyampaikan jalan pikiran seluruh proses berpikir ilmiah dan sebagai sarana komunikasi antar manusia tanpa bahasa tiada komunikasi.
Adapun ciri-ciri bahasa ilmiah yaitu:
  1. Informatif yang berarti bahwa bahasa ilmiah mengungkapan informasi atau pengetahuan. Informasi atau pengetahuan ini dinyatakan secara eksplisit dan jelas untuk menghindari kesalah pahaman Informasi.
  2. Reproduktif adalah bahwa pembicara atau penulis menyampaikan informasi yang sama dengan informasi yang diterima oleh pendengar atau pembacanya.
  3. Intersubjektif, yaitu ungkapan-ungkapan yang dipakai mengandung makna-makna yang sama bagi para pemakainya
  4. Antiseptik berarti bahwa bahasa ilmiah itu objektif dan tidak memuat unsur emotif, kendatipun pada kenyataannya unsur emotif ini sulit dilepaskan dari unsur informatif.
Bahasa ilmiah  berfungsi sebagai alat komunikasi untuk menyampaikan jalan pikiran seluruh proses berpikir ilmiah. Yang dimaksud bahasa disini ialah bahasa ilmiah yang merupakan sarana komunikasi  ilmiah yang ditujukan untuk menyampaikan informasi yang berupa pengetahuan dengan syarat-syarat: Bebas dari unsur emotif,  Reproduktif,  Obyektif, Eksplisit.
Bahasa pada hakikatnya mempunyai  dua fungsi utama yakni,
  1. Sebagai sarana komunikasi antar manusia.
  2. Sebagai sarana budaya yang mempersatukan kelompok manusia yang mempergunakan bahasa tersebut.
Bahasa adalah unsur yang berpadu dengan unsur-unsur lain di dalam jaringan kebudayaan. Pada waktu yang sama bahasa merupakan sarana pengungkapan nilai-nilai budaya, pikiran, dan nilai-nilai kehidupan kemasyarakatan. Oleh karena itu, kebijaksanaan nasional yang tegas di dalam bidang kebahasaan harus merupakan bagian yang  integral dari kebijaksanaan nasional yang tegas di dalam bidang kebudayaan. Perkembangan kebudayaan Indonesia ke arah peradaban modern sejalan dengan kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menuntut adanya perkembangan cara berpikir yang ditandai oleh kecermatan, ketepatan, dan kesanggupan menyatakan isi pikiran secara eksplisit.
Kneller mengemukakan 3 fungsi bahasa yaitu:
  1. Simbolik menonjol dalam komunikasi ilmiah.
  2. Emotif menonjol dalam komunikasi estetik.
  3. Afektif (George F. Kneller dalam jujun, 1990, 175). 
Komunikasi dengan mempergunakan bahasa akan mengandung unsur simbolik dan emotif, artinya, kalau kita berbicara maka pada hakikatnya informasi yang kita sampaikan mengandung unsur-unsur emotif, demikian juga kalau kita menyampaikan perasaan maka ekspresi itu mengandung unsur-unsur informatife. Menurut Jujun S. Suriasumantri, dalam komunikasi ilmiah proses komunikasi itu harus terbebas dari unsur  emotif, agar pesan itu reproduktif, artinya identik dengan pesan yang dikirimkan.
Menurut Halliday sebagaimana yang dikutip oleh Thaimah bahwa fungsi bahasa adalah sebagai berikut:
  1. Instrumental yaitu:  penggunaan bahasa untuk mencapai suatu hal   yang bersifat materi seperti makan, minum, dan sebagainya.
  2. Fungsi Regulatoris yaitu: penggunaan bahasa untuk memerintah dan perbaikan tingkah laku.
  3. Fungsi Interaksional yaitu: penggunaan bahasa untuk saling mencurahkan  perasaan pemikiran antara seseorang dan orang lain.
  4. Fungsi Personal yaitu: seseorang menggunakan bahasa untuk mencurahkan perasaan dan pikiran.
  5. Fungsi Heuristik yaitu : penggunaan bahasa untuk  mengungkap tabir fenomena dan keinginan untuk mempelajarinya.
  6. Fungsi Imajinatif  yaitu: penggunaan bahasa untuk mengungkapkan imajinasi seseorang dan gambaran-gambaran tentang discovery seseorang dan tidak sesuai dengan realita (dunia nyata).
  7. Fungsi Representasional yaitu: penggunaan bahasa untuk menggambarkan pemikiran dan wawasan.
  8. Untuk menelaah bahasa ilmiah perlu dijelaskan tentang pengolongan bahasa.
Ada dua pengolongan bahasa yang umumnya dibedakan yaitu :
  1. Bahasa alamiah yaitu bahasa sehari-hari yang digunakan untuk menyatakan sesuatu, yang tumbuh atas pengaruh alam sekelilingnya. Bahasa alamiah dibagi menjadi dua  yaitu: bahasa isyarat dan bahasa biasa.
  2. Bahasa buatan adalah bahasa yang disusun sedemikian rupa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan akar pikiran untuk maksud tertentu. Bahasa buatan dibedakan menjadi dua bagian yaitu: bahasa istilah dan bahasa antifisial atau bahasa simbolik.
Perbedaan bahasa alamiah dan bahasa buatan adalah sebagai berikut:
  1. Bahasa alamiah antara kata dan makna merupakan satu kesatuan utuh, atas dasar kebiasaan sehari-hari, karena bahasanya secara spontan, bersifat kebiasaan, intuitif (bisikan hati) dan pernyataan langsung.
  2. Bahasa buatan antara istilah dan konsep merupakan satu kesatuan bersifat relatif, atas dasar pemikiran akal karena bahasanya berdasarkan pemikiran, sekehendak hati, diskursif (logika, luas arti) dan pernyataan tidak langsung.
 PERAN MATEMATIKA DALAM BERPIKIR ILMIAH
Untuk melakukan kegiatan ilmiah secara lebih baik diperlukan sarana berfikir salah satunya adalah Matematika. Sarana tersebut memungkinkan dilakukannya penelahaan ilmiah secara teratur dan cermat. Penguasaan secara berfikir ini ada dasarnya merupakan alat yang membantu kegiatan ilmiah dalam berbagai langkah yang harus ditempuh.  Matematika adalah bahasa yang melambaikan serangkaian makna dari pernyataan yang ingin kita sampaikan. Lambang-lambang matematika bersifat artificial yang baru mempunyai arti setelah sebuah makna diberikan kepadanya. Tanpa itu maka matematika hanya merupakan kumpulan rumus-rumus yang mati.
Bahasa verbal mempunyai beberapa kekurangan yang sangat mengganggu. Untuk mengatasi kekurangan kita berpaling kepada matematika. Matematika adalah bahasa yang berusaha menghilangkan sifat kabur, majemuk dan emosional dari bahasa verbal. Umpamanya: kita sedang mempelajari kecepatan jalan kaki seorang anak maka objek kecepatan jalan kaki seorang anak dilambangkan x, dalam hal ini maka x hanya mempunyai arti yang jelas yakni kecepatan jalan kaki seorang anak. Demikian juga bila kita hubungkan kecepatan jalan kaki seorang ana  dengan obyek lain misalnya: jarak yang ditempuh seorang anak”yang kita lambangkan dengan y, maka kita lambangkan hubungan tersebut dengan z = y / x dimana z melambangkan “waktu berjalan kaki seorang anak”. Pernyataan z = y / x tidak mempunyai konotasi emosional, selain itu bersifat jelas dan spesifik.
Matematika memiliki struktur dengan keterkaitan yang kuat dan jelas satu dengan lainnya serta berpola pikir yang bersifat deduktif dan konsisten. Matematika merupakan alat yang dapat memperjelas dan menyederhanakan suatu keadaan atau situasi melalui abstraksi, idealisasi, atau generalisasi untuk suatu studi ataupun pemecahan masalah. Pentingnya matematika tidak lepas dari perannya dalam segala jenis dimensi kehidupan. Mengkomunikasikan gagasan dengan bahasa matematika justru lebih praktis, sistematis, dan efisien. Begitu pentingnya matematika sehingga bahasa matematika merupakan bagian dari bahasa yang digunakan dalam masyarakat. Hal tersebut menunjukkan pentingnya peran dan fungsi matematika, terutama sebagai sarana untuk memecahkan masalah baik pada matematika maupun dalam bidang.
Peranan Matematika sebagai sarana berfikir ilmiah dapat menggunakan alat-alat yang mempunyai kemampuan sebagai berikut:
  1. Menggunakan algoritma.
  2. Melakukan manupulasi secara matematika.
  3. Mengorganisasikan data.
  4. Memanfaatkan symbol, table dan grafik.
  5. Mengenal dan menenukan pola.
  6. Menarik kesimpulan.
  7. Membuat kalimat atau model matematika.
  8. Membuat interpretasi bangun geometri.
  9. Memahami pengukuran dan satuanya.
  10. Menggunakan alat hitung dan alat bantu lainya dalam matematika, seperti tabel matematika, kalkulator, dan komputer.
Adapun kelebihan dan kekurangan matematika:
  1. Kelebihan matematika adalah: tidak memiliki unsur emotif dan bahasa matematika sangat universal.
  2. Kelemahan dari matematika adalah bahwa matematika tidak mengandung bahasa emosional (tidak mengandung estetika) artinya bahwa matematika penuh dengan simbol yang bersifat artifersial dan berlaku dimana saja.
PERAN STATISKA DALAM BERPIKIR ILMIAH
Statistika mempunyai peranan penting dalam berpikir induktif. Konsep statistika sering dikaitkan dengan distribusi variabel yang ditelaah dalam suatu populasi tertentu. Statistika memberikan cara untuk dapat menarik kesimpulan yang bersifat umum dengan jalan mengamati hanya sebagian dari populasi yang bersangkutan. Statistika mampu memberikan secara kuantitatif tingkat ketelitian dari kesimpulan yang ditarik tersebut, yang pada dasarnya didasarkan pada asas yang sangat sederhana, yakni makin besar contoh yang diambil maka makin tinggi tingkat ketelitian tersebut dan sebaliknya
  1. Menurut Anas Sudiono dalam bakhtiar secara etimologi kata statistik berasal dari kata status (bahasa latin) yang mempunyai persamaan arti dengan state (bahasa Inggris) yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan negara. Pada mulanya kata statistik diartikan sebagai kumpulan bahan keterangan (data), baik yang berwujud angka (data kuantitatif) maupun yang tidak berwujud angka (data kualitatif), yang mempunyai arti penting dan kegunaan bagi suatu negara. Namun pada perkembangan selanjutnya, arti kata statistik hanya dibatasi dengan kumpulan bahan keterangan yang berwujud angka data kuantitatif saja.
  2. Sedangkan menurut Sudjana Statistika adalah pengetahuan yang berhubungan dengan cara-cara pengumpulan data, pengelolaan  atau penganalisiannya dan penarikan kesimpulan berdasarkan kumpulan data dan penganalisisan yang dilakukan.
Jadi statistika merupakan  sekumpulan metode dalam memperoleh pengetahuan   untuk mengelolah dan menganalisis data dalam mengambil suatu kesimpulan kegiatan ilmiah. Untuk dapat mengambil suatu keputusan dalam kegiatan ilmiah diperlukan data-data, metode penelitian serta penganalisaan harus akurat. Statistika diterapkan secara luas dan hampir semua pengambilan keputusan dalam bidang manajemen.  Peranan statiska diterapkan dalam penelitian pasar, produksi, kebijaksanaan penanaman modal, kontrol kualitas, seleksi pegawai, kerangka percobaan industri, ramalan ekonomi, auditing, pemilihan resiko dalam pemberian kredit dan lain sebagainya.
Peranan Statistika dalam tahap-tahap metode keilmuan:
  1. Alat untuk menghitung besarnya anggota sampel yang akan diambil dari populas.
  2. Alat untuk menguji validitas dan reliabilitas instrumen..
  3. Teknik untuk menyajikan data-data, sehingga data lebih komunikatif.
  4. Alat untuk analisis data seperti menguji hipotesis penelitian yang diajukan.
Adapun hubungan statiska antara Sarana berfikir Ilmiah Bahasa, Matematika dan Statistika, yaitu sebagaimana yang kita bahas sebelumnya, agar dapat melakukan kegiatan berpikir ilmiah dengan baik, diperlukan sarana bahasa, matematika dan statistika. Bahasa merupakan alat komunikasi verbal yang dipakai dalam kegiatan berpikir ilmiah, dimana bahasa menjadi alat komunikasi untuk menyampaikan jalan pikiran tersebut kepada orang lain. Dan ditinjau dari pola berpikirnya, maka ilmu merupakan gabungan antara berpikir deduktif dan berpikir induktif. Matematika mempunyai peranan yang penting dalam berpikir deduktif, sedangkan statistika mempunyai peranan penting dalam berpikir induktif. Penalaran induktif dimulai dengan mengemukakan pernyataan yang memiliki ruang lingkup yang khas dan terbatas untuk menyusun argumentasi yang diakhiri dengan pernyataan yang bersifat umum. Sedangkan deduktif, merupakan cara berpikir dimana dari pernyataan yang bersifat umum ditarik kesimpulan yang bersifat khusus, dengan memakai pola berpikir silogismus.
PERAN LOGIKA DALAM BERPIKIR ILMIAH
Logika adalah sarana untuk berpikir sistematis, valid dan dapat dipertanggungjawabkan. Berpikir logis adalah berpikir sesuai dengan aturan-aturan berpikir, sebagai contoh, setengah lingkaran tidak boleh lebih besar dari satu lingkaran penuh.
1, Aturan Cara Berpikir yang Benar
Untuk berpikir baik, yakni berpikir logis-dialektis, dibutuhkan kondisi-kondisi tertentu (Poesprojo, 1999:61)[1], diantaranya :
a.Mencintai Kebenaran
Mencintai kebenaran diwujudkan dengan sikap rajin dan jujur, yaitu selalu siap sedia menerima kebenaran meskipun berlawanan dengan prasangka dan keinginan/kecendrungan pribadi dan golongan. Kewajiban mencari kebenaran adalah tuntutan instrinsik manusia untuk merealisasaikan manusia menurut tuntuhan keluhuran keinsaniannya. Oleh karena itu hak mencari kebenaran mencakup juga kewajiban patuh kepada kebenaran-kebenaran yang ditemukan oleh orang lain.
b.Mengetahui dengan sadar yang sedang dikerjakan
Kegiatan yang sedang dikerjakan adalah kegiatan berpikir. Seluruh aktivitas intelektusl manusia adalah suatu usaha terus menerus menemukan kebenaran yang diselingi dengan diperolehnya pengetahuan tentang kebenaran yang bersifat parsial. Untuk mencapai kebenaran, manusia harus melalui berbagai macam langkah dan kegiatan. Penting bagi kita untuk mengetahui dengan benar agar dapat melaksanakan dengan tepat dan seksama.
c.Mengetahui dengan sadar yang sedang dikatakan
Pikiran diungkapkan dalam kata-kata. Kecermatan pikiran diungkapkan dalam kecermatan kata-kata. Oleh karena itu kecermatan ungkapan pikiran dengan kata sangat penting.  Manusia perlu mengetahui dengan seksama mengenai isi, lungkungan, arti fungsional dan istilah yang digunakan, karena istilah merupakan unsur konstitutif penalaran. Perhatikan term-term ekuivokal ( bentuk sama, arti berbeda), analogis (bentuk sama tetapi arti sebagian sama sebagian berbeda), identifikasi dan lokalisasi arti tambahan (konotasi).
d.Membuat destingsi (pembedaan) dan klasifikasi yang semestinya
Terdapat beberapa kejadian atau keadaan dua hal atau lebih mempunyai bentuk yang sama namun tidak identik. Maka perlu dibuat suatu distingsi atau pembedaan dengan mengeksplisitkan yang satu dengan yang lain. Agar tidak terjadi tumpang tindih dan mencampur adukan sesuatu maka perlu dilakukan klasifikasi atau pembagian, karena realitas begitu luas.
e.Mencintai definisi yang tepat
definisi memiliki arti pembatasan atau membuat jelas batas-batas sesuatu. Harus dihindari kalimat-kalimat dan uraian-uraian yang gelap atau tidak terstruktur dan tidak jelas artinya. Gunakan cara berpikir yang terang dan tajam dengan pembagian yang jelas.
f. Mengetahui dengan sadar kesimpulan yang dibuat
Ketahui dan pahami kemengapaan menyimpulkan sesuatu. Harus dapat dan terbiasa melihat asumsi-asumsi, implikasi-implikasi, dan konsekuensi-konsekuensi dari suatu penuturan, pernyataan atau kesimpulan yang dibuat.
g.Menghindari dan menyadari kesalahan
menjadi cakap dan cekatan berpikir sesuai hukum, prinsip, bentuk berpikir yang betul tanpa mengabaikan dialektika(proses perubahan keadaan). Dengan hanya berpikir logis manusia dapat kehilangan pandangan yang meliputi seluruh sasaran. Logika bukan hanya dijadikan sebagai mekanik saja namun juga mengembangkan kesanggupan mengadakan evaluasi terhadap pemikiran orang lain serta sanggup menunjukkan kesalahan. Logika ilmiah melengkapi dan mengantar manusia untuk menjadi cakap dan sanggup berpikir kritis dengan mengenali jenis-jenis dan sebab-sebab kesalahan pemikiran juga menjelaskan segala bentuk sebab kesalahan dengan semestinya.
8.Keterkaitan pengetahuan dengan etika
Etika berhubungan dengan akhlak dan pribadi setiap manusia / individu, etika juga bersifat sebagai sesuatu hal yang dapat dikatakan lazim dan memang sudah seharusnya melekat dalam diri manusia. Manusia yang tidak memiliki etika tidak akan bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya. Hal tersebut terjadi karena didalam kehidupan sehari – hari etika diperlukan sebagai salah satu pedoman atau batasan dalam pergaulan. Jadi dapat dibayangkan jika manusia tanpa etika, manusia tersebut tidak akan bisa hidup berdampingan dengan manusia lain yang ada di sekitarnya. Etika juga erat kaitannya dengan sikap sopan santun.
Etika adalah Ilmu yang membahas perbuatan baik dan perbuatan buruk manusia sejauh yang dapat dipahami oleh pikiran manusia. Menurut Simorangkir, etika atau etik sebagai pandangan manusia dalam berprilaku menurut ukuran dan nilai yang baik. Menurut Drs.Sidi Gajalba dalam sistematika filsafat, etika adalah teori tentang tingkah laku perbuatan manusia dipandang dari segi baik dan buruk, sejauh yang dapat ditentukan oleh akal. Menurut Drs.H.Burhanudin Salam, etika adalah cabang filsafat yang berbicara mengenai nilai dan norma moral yang menentukan prilaku manusia dalam hidupnya. Dan menurut Drs.H.Burhanudin Salam, etika adalah cabang filsafat yang berbicara mengenai nilai dan norma moral yang menentukan prilaku manusia dalam hidupnya.
Etika dapat diartikan sebagai “Sesuatu hal yang sejatinya dimiliki oleh setiap manusia, yang melekat dalam diri manusia, yang bersifat sebagai sesuatu sikap atau tingkah laku manusia yang sopan dan sesuai dengan moral kehidupan, dan menjadi salah satu pedoman hidup manusia dalam kehidupannya’’.
Etika juga ilmu yang membahas perbuatan manusia baik dan perbuatan buruk manusia sejauh yang dapat dipahami oleh pikiran manusia. Etika disebut pula akhlak atau disebut pula moral. Apabila disebut “akhlaq” berasal dari bahasa Arab. Apabila disebut moral berarti adat kebiasaan. Istilah moral berasal dari bahsa Latin Mores.Tujuan mempelajari etika adalah untuk mendapatkan konsep yang sama mengenai penilaian baik dan buruk bagi semua manusia dalam ruang dan waktu tertentu. Etika biasanya disebut ilmu pengetahuan normatif sebab etika menetapkan ukuran bagi perbuatan manusia dengan penggunaan norma tentang baik dan buruk.
Macam-macam Etika
            Menurut Sunoto (1982) etika dapat dibagi menjadi etika deskriptif dan etika normatife. Etika deskriptif hanya melukiskan, menggambarkan, menceritakan apa adanya, tidak memberikan penilaian, tidak mengajarkan bagaimana seharusnya berbuat. Contohnya sejarah etika. Adapun Etika normatif sudah memberikan penilaian yang baik dan yang buruk, yang harus dikerjakan dan yang tidak harus dikerjakan. Etika Normatif dapat dibagi menjadi dua yaitu etika umum dan etika khusus. Etika Umum membicrakan prinsip-prinsip umum, seperti apakah nilai, motivasi suatu perbuatan, suara hati, dan sebagainya. Etika Khusus adalah pelaksanaan prinsip-prinsip umum, seperti etika pergaulan, etika dalam pekerjaan, dan sebagainya.
Berbagai keterangan di atas, telah menjelaskan pemaknaan etika yang mencakupi tataran filosofis hal ini karena etika adalah merupakan bagian kajian kefilsafatan. Dalam waktu yang bersamaan kajian tidak bias dilakukan tanpa menyangkutkannya dengan tataran perksisnya yaitu tindakan manusia itu sendiri. Dalam konteksnya yang seperti itu, studi etika atau fisafat moral ini, dikatagorikan kedalam rumusan-rumusan sebagai berikut, Cecep sumarna membagi kajian filsafat etika kedalam: Etika normatif, etika yang mengkaji tentang baik buruknya tingkah laku dan Etika praktis, kajian etika biasanya menyangkut soal tindakan yang harus dilakukan oleh manusia.
Sedangkan Louis O. Kattsoff megkatagorikan kajian filsafat etika ini menjadi tiga macam, yaitu:
a)   Etika deskriptif, yaitu melukiskan predikat-predikat dan tanggapantanggapan kesusilaan yang telah diterima dan dipergunakan.
b)   Etika normatif, yaitu yang bersangkutan degan penyaringan ukuran-ukuran kesusilaan yang khas.
c)    Etika praktis, yaitu menyangkut hal yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat berdasarkan pilihan terbaik dalam melakukan suatu tindakan. Macam ini lebih mirip dengan apa yang disebut dengan etika terapan.

Aliran-Aliran dalam Etika
enam aliran penting dalam persoalan etika yaitu:
1)   Aliran etika Naturalisme, ialah aliran aliran yang beranggapan bahwa kebahagiaan manusia itu didapatkan dengan menurutkan panggilan natura (fitrah) kejadian manusia sendiri.
2)   Aliran etika Hedonism, ialah aliran yang berpendapat bahwa perbuatan susila itu adalah perbuatan yang menimbulkan hedone (kenikmatan dan kelezatan).
3)   Aliran etka Utilitarianisme ialah aliran yang menilai baik dan buruknya perbuatan manusia itu ditinjau dari besar kecil dan besarnya manfa’at bagi manusia.
4)   Aliran etika Idealism, yaitu aliran yang berpendirian bahwa perbuatan manusia janganlah terikat pada sebab musabab lahir, tetapi haruslah berdasarkan pada prinsif kerohanian (idea) yang lebih tinggi.
5)   Aliran etika Vitalisme, yaitu aliran yang menilai baik dan buruknya perbuatan manusia itu ada tidak adanya daya hidup (vital) yang maksimum mengendalikan perbuatan itu.
6)   Aliran etika theologies, yaitu aliran yang berkeyakinan bahwa ukuran baik dan buruknya perbuatan manusia itu dinilai dengan sesuai dan tidaknyasesuainya dengan perinah Tuhan (Theos=tuhan). Nilai dalam hal ini ditentukan oleh Tuhan (Islam).
 Keterkaitan Filsafat dengan Etika
Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berusaha mengkaji segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada dengan menggunakan pikiran. Bagian-bagiannya meliputi:
1.      Metafisika yaitu kajian dibalik alam yang nyata,
2.      Kosmologia yaitu kajian tentang alam,
3.      Logika yaitu pembahasa tentang cara berpikir cepat dan tepat,
4.      Etika yaitu pembahasan tentang tingkah laku manusia,
5.      Teologi yaitu pembahasan tentang ketuhanan,
6.      Antropologi yaitu pembahasan tentang manusia.
Dengan demikian, jelaslah bahwa etika termasuk salah satu komponen dalam filsafat. Banyak ilmu yang pada mulanya merupakan bagian dari filsafat, tetapi karena ilmu tersebut kian meluas dan berkambang, akhirnya membentuk disiplin ilmu tersendiri dan terlepas dari filsafat. Demikian juga etika,dalam proses perkembangannya sekalipun masih diakui sebagai bagian dalam pembahasan filsafat, ia merupakan ilmu yang mempunyai identitas sendiri. (Alfan: 2011)
Hubungan etika dengan ilmu filsafat menurut Ibnu Sina seperti indera bersama, estimasi dan rekoleksasi yang menolong jiwa manusia untuk memperoleh konsep-konsep dan ide-ide dari alam sekelilingnya. Jika manusia telah mencapai kesempurnaan sebelum ia berpisah dengan badan, maka ia selamanya akan berada dalam kesenangan. Jika ia berpisah dengan badan dalam keadaan tidak sempurna, ia selalu dipengaruhi hawa nafsu. Ia hidup dalam keadaan menyesal dan terkutuk untuk selama-lamanya di akhirat. Pemikiran filsafat tentang jiwa yang dikemukakan Ibnu Sina memberi petunjuk dalam pemikiran filsafat terhadap bahan-bahan atau sumber yang dapat dikembangkan lebih lanjut menjadi konsep ilmu etika.
Ibn Khaldun dalam melihat manusia mendasarkan pada asumsi-asumsi kemanusiaan yang sebelumnya lewat pengetahuan yang ia peroleh dalam ajaran Islam. Ia melihat sebagai mekhluk berpikir. Oleh karena itu, manusia mampu melahirkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sifat-sifat semacam ini tidak dimiliki oleh makhluk-makhluk lainnya. Lewat kemampuan berfikirnya itu, manusia tidak hanya membuat kehidupannya, tetapi juga menaruh perhatian pada berbagai cara guna memperoleh makna hidup. Proses-proses semacam ini melahirkan peradaban. Dalam pemikiran ilmu, Ibn Khaldun tampak bahwa manusia adalah makhluk budaya yang kesempurnaannya baru akan terwujud manakla ia berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Ini menunjukan tentang perlunya pembinaan manusia, termasuk dalam membina etika. Gambaran tentang manusia yang terdapat dalam pemikiran filosofis itu akan memberikan masukan yang amat berguna dalam merancang dan merencanakan tentang cara-cara membina manusia, memperlakukannya, dan berkomunikasi dengannya. Dengan cara demikian akan tercipta pola hubungan yang dapat dilakukan dalam menciptakan kehidupan yang aman dan damai (M. Yatimin Abdullah: 2006).
Etika sebagai cabang filsafat dapat dipahami bahwa istilah yang digunakan untuk memberikan batasan terhadap aktifitas manusia dengan nilai ketentuan baik atau buruk. Etika memiliki objek yang sama dengan filsafat, yaitu sama-sama membahas tentang perbuatan manusia. Filsafat sebagai pengetahuan berusaha mencari sebab yang sedalam-dalamnya berdasarkan pikiran. (Yatimin: 2006) Jika ia memikirkan pengetahuan jadilah ia filsafat ilmu, jika memikirkan etika jadilah filsafat etika. (Ahmad Tafsir: 2005).
Jadi, Keterkaitan Filsafat dengan Etika menurut saya adalah bahwa etika merupakan salah satu hal yang dihasilkan dari adanya filsafat. Seperti definisi diatas, filsafat berkaitan dengan pandangan hidup manusia akan suatu kebenaran. Dan dalam definisi etika dikatakan bahwa etika berhubungan dengan moral manusia dan tingkah laku yang sopan dan santun. Jadi filsafat menghasilkan etika dan dibenarkan bahwa etika itu ada dalam diri manusia dan seharusnya dimiliki oleh setiap manusia dalam kehidupannya sebagai pedoman dalam pergaulan dilingkungannya. Jadi hubungan antara filsafata dan etika sangat erat. Jika tidak ada filsafat maka etika pun juga tidak akan terbentuk.
Maka dapat dikatakan bahwa Hubungan Filsafat dan Etika adalah:
·       Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berfungsi sebagai interpretasi tentang hidup manusia, yang tugasnya meneliti dan menentukan semua fakta konkret sampai pada yang paling mendasar.
·       Etika merupakan bagian dari filsafat, yaitu filsafat moral. Etika bersifat: universal, relevan, menentukan poeradaban manusia, berperan dalam memajukan Bangsa.
Etika menyelidiki dasar semua norma moral. Dalam etika biasanya dibedakan antara etika deskriptif dan etika normatif.
1. Etika Deskriptif
Etika deskriptif menguraikan dan menjelaskan kesadaran-kesadaran dan pengalaman moral secara deskriptif. Ini dilakukan dengan bertitik pangkal pada kenyataan bahwa terdapat beragam fenomena moral yang dapat digambarkan dan diuraikan secara ilmiah. Etika deskriptif berupaya menemukan dan menjelaskan kesadaran, keyakinan dan pengalaman moral dalam suatu kultur tertentu. Etika deskriptif dibagi menjadi dua, yaitu:
a.         Sejarah moral, yang meneliti cita-cita, aturan-aturan dan norma-norma moral yang pernah berlaku dalam kehidupan manusia dalam kurun waktu dan tempat tertentu.
b.         Fenomenologi moral, yang berupaya menemukan arti dan makna moralitas dari beragam fenomena ysng ada. Fenomenologi moral berkepentingan untuk menjelaskan fenomena moral yang terjadi masyarakat. Ia tidak memberikan petunjuk moral dan tidak mempersalahkan apa yang salah.
2. Etika Normatif
Etika normatif dipandang sebagai suatu ilmu yang mengadakan ukuran atau norma yang dapat dipakai untuk menanggapi menilai perbuatan. Etika ini dapat menjelaskan tentang nilai-nilai yang seharusnya dilakukan serta memungkinkan manusia untuk mengukur tentang apa yang terajdi.
Etika normatif menagandung dua bagian besar, yaitu: pertama membahas tentang teori nilai (theory of value) dan teori keharusan (theory of obligation). Kedua, membahas tentang etika teologis dan etika deontelogis. Teori nilai mempersoalkan tentang sifat kebaikan, sedangkan teorin keharusan membahas tingkah laaku. Sedangkan etika teolog berpendapat bahwa moralitas suatu tindakan ditentukan oleh konsekuensinya. Adapun deontologis berpendapat bahwa moralitas suatu tindakan ditentukan oleh sebab-sebab yang menjadi dorongan dari tindakan itu, atau ditetukan oleh sifat-sifat hakikinya atau oleh keberadaannya yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan dan prinsip-prinsip tertentu. (Muhammad In’am Esha, 2010)
Ciri khas etika filsafat itu dengan jelas tampak juga pada perbuatan baik-buruk, benar-salah, tetepi diantara cabang-cabang ilmu filsafat mempunyai suatu kedudukan tersendiri. Ada banyak cabang filsafat, seperti filsafat alam, filsafat sejarah, filsafat kesenian, filsafat hukum, dan filsafat agama. Sepintas lalu rupanya etika filsafat juga menyelidiki suatu bidang tertentu, sama halnya seperti cabang-cabang filsafat yang disebut tadi. Semua cabang filsafat berbicara tentang yang ada, sedangkan etika filsafat membahas yang harus dilakukan. Karena itu etika filsafat tidak jarang juga disebut praktis karena cabang ini langsung berhubungan dengan perilaku manusia, dengan yang harus atau tidak boleh dilakukan manusia.
Perlu diakui bahwa etika sebagai cabang filsafat, mempunyai batasa batasan juga. Contoh, mahasiswa yang memperoleh nilai gemilang untuk ujian mata kuliah etika, belum tentu dalam perilakunya akan menempuh tindakan-tindakan yang paling baik menurut etika, malah bisa terjadi nilai yang bagus itu hanya sekedar hasil nyontek, jadi hasil sebuah perbuatan yang tidak baik (M. Yatim Abdullah: 2006).


Sikap Ilmiah
Sikap ilmiah merupakan sikap yang harus dimiliki para ilmuan karena sikap ilmiah ini merupakan suatu sikap yang diarahkan untuk mencapai pengetahuan ilmiah. Sikap adalah manifestasi operasionalisasi jiwa. Berpikir termasuk tingkat kejiwaan manusia yang disebut kognisi yang terjadinya adalah kerena adanya kesadaran dalam dirinya yang memiliki kekuatan rohaniah. Oleh karena berpikir itu selalu mengarah dan diarahkan kepada suatu objek pemikiran, maka sikap ini merupakan penampakan dasar pokok bagi pemikiran ilmiah. Jadi ilmiah ini dapat dikatakan sebagai manifestasi operasionalisasi dari seseorang yang memiliki jiwa ilmiah. Dengan demikian jiwa ilmiah dapat diketahui dari sikap ilmiahnya sebagai keseluruhan dan pengejawantahan jiwa ilmiah. Sikap ilmiah ini antara lain Nampak pada sikap , yaitu:
1)   Objektif
Sikap objektif ini diartikan sebagai sikap menyisihkan prasangka– prasangka pribadi (personal bias) atau kecenderungan yang tidak beralasan. dengan kalimat lain, dapat melihat secara riil apa asanya mengenai kenyataan objek. Karena dalam suatu penyelididikan yang dipentingkan adalah objeknya, maka pengeruh subjek dalam membuat deskripsi, analisis dan hipotesis seharusnya dilepaskan jauh-jauh. Walaupun tidaklah mungkin kita menemukan objektivitas yang absolute sebab ilmu itu sendiri merupakan banyaknya akan ituk mewarnainya tetapi sikap objektif ini sekurang-kurangnya , minimal dapat memperkecil pengaruh perasaannya sendiri dan mempersempit prangka sikap tanpa pamrih. Sebab betapapun kecilnya pamrih yang tersertakan dalam suatu penijauan tentu dapat memutar balikkan keadaan yang sebenarnya , bahkan menimbulkan arbitrarisme atau sliptisisme.
2)      Serba relatif
Ilmiah tidak mempunyai maksud untuk mencari kebenaran mutlak. Ilmu tidak mendasarkan kebenaran ilmiahnya atas beberapa postulat yang secara apriori dalam ilmu sering digunakan oleh teori-teori lain. Dan terutama untuk mengugurkan teori-teori sebelumnya yang sudah diterima.
3)      Skeptis
Adapun yang termasuk sikap skeptic adalah selalu ragu terhadap pernyataan–pernyataan yang belum cukup kuat dasar bukti, fakta-fakta maupun persaksian-persaksian autoritas dengan diikuti sikap untuk dapat menyusun pemikiran-pemikiran baru. Atau sikap ini diatikan juga sebagai sikap tidak cepat puas dengan jawaban tunggal. Kemudian ditelitinya lagi guna membanding-bandingkan fenomena-fenomena yang serupa tentang hokum alam, hipotesis, teori, dugaan, dan atau pendapat pendapat bahkan yang lebih actual lagi .
4)      Kesabaran Intelektual
Sikap sanggup menahan diri dan kuat untuk tidak menyerah kepada tekanan-tekanan maupun intimidasi agar kita menyatakan suatu pendirian ilmiah karena agar kita menyatakan suatu pendirian ilmiah karena memang belum tuntas dan belum cukup lengkap hasil penelitian kita tentang sesuatu objek kajian ilmiah adalah sikap utama ahli ilmu.
5)      Kesederhanaan
Sebagai sikap ilmiah, maka kesederhanaan adalah sikap yang ditampilkan dalam cara berpikir, mengemukakan pendapat dan cara pembuktian. Sikap sederhana adalah sikap tengah-tengah antara kesombongan intelektual dan stagnasi atau antara superioritas. Termasuk sikap sederhana adalah sikap terbuka bagi semua kritikan, berjiwa dan lapang dada, tidak emotif atau egosentris, rendah hati dan tidak fanatik buta, tetapi penuh toleransi terhadap hal-hal yang diketahuinya maupun yang belum diketahuinya.
6)      Tidak Memihak pada Etik
Sikap tidak memihak pada etik dalam mempelajari ilmu maupun dalam dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, artinya bahwa ilmu itu tidak mempunyai tujuan untuk pada akhirnya membuat penilaian baik-buruk, karena hal itu adalah menjadi wewenang ilmu akhlak (Etika) yang menyangkut cara bertingkah laku. Tetapi ilmu memiliki tugas untuk mengumukakan apa yang betul (true) dan apa yang keliru (false) secara relative.
7)      Menjangkau Masa Depan
Orang yang bersikap ilmoah itu mempunyai wawasan yang luas dan pandangan jauh ke depan (perspektif) serta berorientasi kepada tugasnya. Perkembangan teknologi dan pesatnya kebudayaan pada umumnya menarik perhatian para ilmuan dan karenanya ia berpandangan jauh ke masa depan. Sikap ini mendorong dirinya untuk selalu bersikap penasaran dalam mencari kebenaran (true) dan tidak puas dengan apa yangt ada padanya, juga tidak lekas berputus asa atau tidak kenal frustasi. Dia senantiasa membuat hipotesis – hipotesis, analisis-analisis, atau ramalan-ramalan ilmuah, tentang kemungkinan-kemungkinan itu bukan tentang kemutlakan-kemutlakan.