Selasa, 12 Juni 2012

ANAK MENGALAMI TEMPER TANTRUM (SUKA MENGAMUK) : BAGAIMANA MENGATASINYA? Pupung Puspa Ardini,M.Pd

PENDAHULUAN

Anak usia dini adalah sosok individu yang unik. Anak Usia dini berada pada rentang usia 0-8 tahun. Pada masa ini anak berada di periode keemasan perkembangan dan pertumbuhan. Hal ini tersebut dikarenakan pertumbuhan dan perkembangan anak pada masa ini bergerak dengan cepat dan merupakan dasar bagi perkembangan tahap selanjutnya (Depdiknas, USPN, 2004:4).

Perkembangan dan pertumbuhan pada individu ini terdiri dari beberapa aspek, Salah satu aspek yang penting adalah social-emosional (Sujiono, 2009 : 70-76). Aspek ini merupakan aspek penting dalam perkembangan karakter dan kepribadian anak untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan. Salah satu ekspresi emosi dalam kehidupan social anak adalah tempramen. Tempramen merupakan aspek social-emosional pada anak yang mendasari perilaku ekspresi emosi maupun respon terhadap stimulus baik itu secara internal maupun eksternal dari lingkungan (Dariyo, 2007 : 192).

Perkembangan aspek social-emosional yang optimal dapat mempengaruhi perkembangan serta pertumbuhan aspek-aspek yang lain. Anak dengan perkembangan social-emosional yang baik cenderung akan tumbuh menjadi anak yang mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan social. Secara psikologis kebutuhan anak terpenuhi sehingga anak pun cenderung akan mengalami perkembangan kognitif, fisik-motorik, bahasa, serta memiliki inisiatif dan kreatif (Dariyo, 2007 : 192). Sebagai contoh seorang anak yang mendapatkan dukungan social penuh dari keluarga dengan memberikan anak kesempatan bermain,bereksplorasi dengan melakukan aktivitas-aktivitas yang dapat merangsang kognitif, fisik, serta bahasa maka anak akan percaya diri ,memiliki harga diri serta diberikan kesempatan mengekspresikan emosi dengan baik dan tidak berlebihan ketika berhadapan dengan lingkungan social. Dengan demikian lingkungan yang menerima dengan baik perilaku anak tersebut akan pula mengembangkan aspek fisik-motorik, kognitif, bahasa, inisiatif serta kreatifitas anak.

Pada makalah ini akan diangkat mengenai perkembangan social-emosional khususnya tempramen anak usia tiga tahun pertama. Hal ini menjadi perhatian karena perkembangan social-emosional anak tiga tahun pertama dipengaruhi oleh lingkungan pendidikan informal. Dalam hal ini yang sangat berperan adalah keluarga yaitu lingkungan kehidupan pertama dan langsung berhubungan dengan anak (Lichtenstein dan Ireton, 1984: 20). . Dalam lingkungan keluarga yang paling berpengaruh terhadap perkembangan social-emosional terutama pembentukan karakter atau tempramen adalah dua kutub yang saling bertentangan. Dengan kata lain bila kondisi keluarga memberikan kesempatan yang positif pada anak, maka akan menumbuh-kembangkan emosi yang cenderung stabil. Sebaliknya bila lingkungan keluarga tidak memberikan kesempatan yang positif maka akan berakibat perkembangan emosi anak cenderung negatf.

Terdapat kasus pada sebuah keluarga, dimana anak usia 1 setengah tahun memiliki tempramen yang keras. Anak tersebut sering sekali mengamuk atau dikenal dengan temper tantrum sampai membentur-benturkan kepala jika terdapat hal yang kurang berkenan dihati anak tersebut. Seperti misalnya jika keinginan anak tersebut tidak terpenuhi atau kesenangan anak tersebut terganggu. Sebagai contoh ketika anak tersebut ingin melakukan hal yang berbahaya memanjat tangga besi. Orang tua anak tersebut berusaha menjaga agar anak tersebut tidak jatuh, dan anak tersebut sama sekali tidak  mau dijaga. Karena kurang berkenan maka anak tersebut mengamuk sambil menangis keras dan membentur-benturkan kepala beberapa kali sampai terlihat bekas benturan memerah dipelipis anak tersebut. Dikhawatirkan kebiasaan si anak yang memiliki temper tantrum dan gemar membenturkan kepala ini dapat mempengaruhi perkembangan kognitif anak (Hasan, 2009 :35).

Anak pada kasus ini memiliki latar belakang keluarga dengan kedua orang tua yang bekerja. Ayah lebih banyak tinggal di luar daerah sehingga intensitas pertemuan dengan anak sangat sedikit. Dalam setahun hanya dua kali bertemu dengan anak. Ibu anak tersebut juga bekerja sehingga keseharian anak bersama nenek dan kakek. Nenek dan kakek anak tersebut terlalu banyak memberikan keleluasaan pada anak dan membenarkan sikap mengamuk anak. Dengan sikap tersebut menjadikan penguatan bagi anak untuk semakin sering mengamuk jika keinginannya tidak terpenuhi. Cara yang demikian ini disebut dengan pola asuh permisif (Dariyo, 2007 : 207).

Dengan demikian penulis tertarik untuk mengangkat kasus tersebut dan mencoba mengatasi kebiasaan mengamuk atau Temper Tantrum anak usai tiga tahun pertama melalui pendekatan behavioristik. Hal ini karena seperti yang sudah dikemukakan sebelumnya bahwa temper tantrum ini merupakan perwujudan atau ekspresi emosi yang diwujudkan melalui tingkah laku seperti mengamuk,menangis berteriak, dan lain sebagainya. Penulis mencoba mengatasi kebiasaan tantrum ini melalui pendekatan behavioristik karena tantrum ini sendiri merupakan respon dari stimulus baik itu secara internal maupun eksternal.

 

A.   Pengertian Temper Tantrum

Temper tantrum adalah luapan emosi yang meledak-ledak dan tidak terkontrol. Hal ini muncul pada usia 15 sampai 6 tahun. Temper tanrum terjadi pada anak yang aktif dengan energy berlimpah (Hasan, 2009 : 185). Sebuah situs parenting Australia mengemukakan bahwa temper tantrum adalah ledakan amarah, frustasi dan perilaku tidak terorganisir (www.raisingchildrennetwork.com, 2010). Shelov dalam buku caring for your baby and your child mengemukakan bahwa temper tantrum adalah ekspresi frustasi anak (Shelov, 1993:502). Menurut Vasta, Temper tantrum adalah ekspresi emosi maupun respon terhadap suatu stimulus internal atau eksternal individu (Dariyo, 2007 : 192). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa temper  tantrum adalah ekspresi emosi individu yang tidak terkendali berupa ledakan amarah dan merupakan respon terhadap stimulus internal atau eksternal.

1.    Aspek-aspek dalam Temper Tantrum

Bates, Freelow dan Lounsburry menyatakan ada empat aspek dalam temper tantrum (Dariyo, 2007 : 193), yaitu : a) fussy difficult, b) unudaptable, c) dull (positive affect), d) unpredictable. Fussy Difficult adalah perilaku protes anak yang memberikan respon yang ditandai dengan sikap menangis atau sikap mudah marah dengan lingkungan.

Unadaptable adalah ketidakmampuan anak beradaptasi dengan lingkungan yang kemudian memunculkan sebuah reaksi negative, sebagai contoh anak bayi yang akan terus menangis di sepanjang acara keluarga dan anak bayi tersebut tidak mau digendong oleh orang lain selain ibunya sendiri.

Dull atau efek positif adalah suatu perasaan positif dan aktivitas yang berhubungan dengan kemampuan untuk mendekati lingkungan social anak. Unpredictable adalah suatu sikap atau respon emosi maupun perilaku yang sulit diduga seperti ketika anak stress maka akan muncul rasa lapar atau mengantuk.

2.    Ciri-ciri Temper Tantrum

Menurut National Association of School Pschologist Temper tantrum memiliki ciri-ciri sebagai berikut (www.NASPResources.com, 2010):

a)    Memiliki kebiasaan tidur, makan, dan buang air besar yang tidak teratur.

b)    Sulit menyukai makanan, situasi, dan orang-orang baru.

c)    Lambat beradaptasi dengan perubahan.

d)    Sering memiliki suasana hati yang negative.

e)    Mudah terprovokasi, mudah merasa marah atau kesal.

f)     Sulit dialihkan perhatiannya.

Temper tantrum termanifestasi dalam berbagai perilaku. Berikut adalah beberapa contoh temper tantrum  usia tiga tahun pertama (www.webMD.com, 2010): a) menangis, b) menggigit, c) memukul, d) menendang, e) menjerit, f) memekik-mekik, g) melengkungkan punggung, h) melempar badan ke lantai, i) memukul-mukulkan tangan, j) menahan nafas, k) membentur-benturkan kepala, l) melempar-lempar barang.

3.    Faktor-faktor yang Mempengaruhi Temper Tantrum

Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya temper tantrum (Hasan, 2009 : 187), diantaranya :

a)    Keinginan anak yang tidak terpenuhi

Anak akan melalukan tantrum dengan maksud untuk menekan orang tua agar keinginan anak terpenuhi, sebagai contoh ketika anak menginginkan orang tua membelikan mainan di sebuah took. Jika orang tua tidak memenuhi keinginan anak, maka anak akan menangis sambil berguling di took sampai orang tua mau membelikan mainan yang dimaksud.

b)    Ketidakmampuan anak untuk mengungkapkan perasaan

Anak-anak khususnya anak pada usia tiga tahun pertama memiliki keterbatasan bahasa. Ketika anak ingin mengungkapkan sesuatu dan tidak dimengerti oleh orang tua maka anak akan frustasi dan memicu munculnya perilaku tantrum.

c)    Kebutuhan yang tidak terpenuhi

Anak yang aktif membutuhkan ruang dan waktu yang cukup untuk selalu bergerak. Anak yang tidak dapat memenuhi kebutuhannya untuk bergerak akan mengalami frustasi dan untuk melampiaskan kebutuhannya itu anak melakukan tantrum. Sebagai contoh ketika anak melakukan perjalanan jauh dengan kendaraan. Anak akanmerasa bosan dalamperjalanan karena tidak dapat bergerak sesuka hati, maka untuk melampiaskannya anak melakukan tantrum.

d)    Pola asuh orang tua

Anak yang terlalu dimanjakan dan selalu mendapatkan apa yang diinginkan akan melakukan tantrum ketika keinginan anak tersebut tidak dipenuhi oleh orang tua. Contoh lain adalah anak yang mendapatkan pola asuh otoriter dari orang tua, sekali waktu karena rasa tertekan anak, maka anak tersebut akan melakukan tantrum. selain itu perbedaan pola asuh antara orang tua dan pengasuh dapat pula memicu anak untuk melakukan tantrum. seperti misalnya pengasuh yang permisif dan orang tua yang otoriter atau demokratis. Anak akan melakukan tantrum untuk menyampaikan keinginan.

e)    Perasaan lelah, lapar, atau sakit

Perasaan lelah, lapar dan sakit juga dapat memicu tantrum. Karena perasaan tidak enak yang muncul saat lelah dan sakit atau ketika lapar dan kebutuhan itu tidak juga terpenuhi maka akan membuat anak menjadi tantrum.

f)     Keadaan stress dan rasa tidak aman pada diri anak

Stress atau frustasi adalah perasaan tertekan yang dialami anak (Hasan, 2009 : 198). Hal ini akan memicu anak melakukan tantrum sebagai pelampiasan dari rasa tertekan yang dialami anak tersebut.

 

 

 

Perspektif behavioral menekankan pada stimulus diterima oleh individu atau individu kemudian akan muncul respon baik itu positif maupun negative(Djiwandono, 2006 :129). Temper Tantrum merupakan respon yang muncul berupa tingkah laku berdasarkan stimulus secara internal maupun eksternal individu  Hal ini dijelaskan secara lengkap oleh ahli-ahli psikologi tingkah laku seperti:

(a)  Thorndike (The law of effect), yang mengatakan bahwa belajar adalah suatu proses “stamping in” (diingat), forming, hubungan antara Stimulus dan Respons (S-R).

(b)  Pavlov (Classical Conditioning), menjelaskan bahwa respons (conditioned respons) yang muncul dapat disebabkan oleh stimulus yang dilengkapi dengan reinforcement.

(c)  Watson (Conditioning Reflect), mengatakan bahwa proses respons melalui pergantian dari satu stimulus kepada yang lain.

(d)  Skiner (Operant Coditioning), melengkapi konsep dari Thorndike, Pavlov, dan Watson dengan memilih istilah reinforcement sebagai sebuah konsekuen yang didapat dari tingkah laku karena istilahnya lebih netral. Skiner percaya bahwa semua tingkah laku dan hampir sebagian besar terjadi karena kondisi operan (operant conditioning), dimana suatu respons dibuat lebih mungkin atau sering sebagai hasil dari reinforcement yang segera muncul.

 

4.    Langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk mengatasi Temper Tantrum

Langkah yang dapat dilakukan untuk mengatasi temper tantrum adalah melalui pendekatan behavoristik. Perspektif behavioral menekankan pada stimulus diterima oleh individu atau individu kemudian akan muncul respon baik itu positif maupun negative(Djiwandono, 2006 :129). Temper Tantrum merupakan respon yang muncul berupa tingkah laku berdasarkan stimulus secara internal maupun eksternal individu  Hal ini dijelaskan secara lengkap oleh ahli-ahli psikologi tingkah laku seperti:

(e)  Thorndike (The law of effect), yang mengatakan bahwa belajar adalah suatu proses “stamping in” (diingat), forming, hubungan antara Stimulus dan Respons (S-R).

(f)   Pavlov (Classical Conditioning), menjelaskan bahwa respons (conditioned respons) yang muncul dapat disebabkan oleh stimulus yang dilengkapi dengan reinforcement.

(g)  Watson (Conditioning Reflect), mengatakan bahwa proses respons melalui pergantian dari satu stimulus kepada yang lain.

(h)  Skiner (Operant Coditioning), melengkapi konsep dari Thorndike, Pavlov, dan Watson dengan memilih istilah reinforcement sebagai sebuah konsekuen yang didapat dari tingkah laku karena istilahnya lebih netral. Skiner percaya bahwa semua tingkah laku dan hampir sebagian besar terjadi karena kondisi operan (operant conditioning), dimana suatu respons dibuat lebih mungkin atau sering sebagai hasil dari reinforcement yang segera muncul.

 

Berikut beberapa prosedur yang dapat dilakukan untuk mengontrol atau menghilangkan sikap tantrum anak tiga tahun pertama (Djiwandono, 2006 : 141-143):

1.    Reinforcing competing behaviors

Orang tua mengabaikan tingkah laku anak yang mulai melakukan tantrum kemudian memuji tingkah laku anak yang baik. Hal ini dilakukan di depan orang lain. Social reinforcement ini akan dapat mengurangi perilaku tantrum

2.    Extinction

Adalah proses dimana suatu operant yang telah terbentuk tidak mendapat reinforcement lagi. Seperti yang pernah dikemukakan Pavlov bila penyajian conditioned stimulus berulang-ulang tidak diikuti penyajian unconditioned stimulus (reinforcement) maka conditioned response makin lama semakin hilang. Jadi orang tua memperhatikan apa yang benar-benar dibutuhkan anak agar tidak terlalu berlebihan memberikan kemudahan sehingga menimbulkan perilaku tantrum jika tidak terpenuhi.

3.    Satiation

Adalah prosedur yang mendorong individu untuk melakukan sesuatu terus-menerus sampai lelah. Sebagai contoh jika anak mulai melakukan tantrum membentur-benturkan kepala orang tua meminta anak untuk terus melakukannya. Jika anak merasa lelah dan kesakitan anak akan berhenti melakukan tantrum.

4.    Changing the stimulus environtment

Tantrum dapat dikontrol dengan mengubah kondisi stimulus yang dapat mempengaruhi tantrum. Sebagai contoh jika anak frustasi karena terlalu lelah dalam perjalanan maka sebelum tantrum muncul orang tua dapat merehat sejenak perjalanan dan mempersilahkan anak melakukan kesenangan anak untuk menghilangkan frustasi selama perjalanan.

 

Raising Children Network menetapkan beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk mengatasi tantrum. Berikut adalah beberapa pendekatan yang dapat dilakukan untuk mengatasi tantrum bagi anak usia tiga tahun pertama yang sudah di uji sebelumnya di keluarga-keluarga di Australia. Pendekatan ini menggunakan pendekatan behavoristik dengan menekankan pada reinforcemen (www.raisingchildrennetworks.com 2010):

1.    Mengurangi stress anak dengan mengantisipasi sebelum anak stress. Sebagai contoh sebelum anak merasa terlalu lapar orang tua sudah lebih dulu mengantisipasi dengan memberi anak makan. Jika belum masuk jam makan utama maka orang tua dapat memberi anak kudapan. Rasa lapar yang sangat dapat memicu stress pada anak sehingga muncul perilaku tanrum.

2.    Menyadari perasaan anak. Orang tua juga perlu memahami perasaaan anak. Orang tua tidak boleh terlalu banyak menuntut secara berlebihan pada anak.

3.    Mengidentifikasi pemicu amukan dengan melakukan langkah-langkah sebagai berikut :

a.    Mencatat perilaku tantrum anak selama 7-10 hari dan juga kejadian yang terjadi sebelum dan sesudah tantrum terjadi

b.    Sesudah mencatat kemudian identifikasi situasi yang menyebabkan tantrum terjadi. Setelah mengidentifikasi orang tua dapat menyusun rencana cara menghindari situasi tersebut dapat terjadi. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi respon yang muncul berupa tantrum dari stimulus seperti kelelahan, lapar, stress dan lain sebagainya.

c.    Selain mengidentifikasi situasi penyebab, orang tua juga mengidentifikasi pemicu terjadinya tantrum.

Berikut adalah table pemicu dan beberapa saran pencegah terjadinya tantrum.

PEMICU

PENCEGAH

Kata 'tidak'

o    Meletakan mainan favorit anak di luar jangkauan anak

o    Say 'yes' whenever it is reasonable to do so. Berkata 'ya' setiap kali masuk akal untuk melakukannya.

o    Offer choices. Menawarkan pilihan.

Distract your child with another activity.Mengalihkan perhatian anak dengan aktivitas lain.

Diminta atau diperintahkan untuk melakukan sesuatu

o    Memberi sedikit petunjuk. It's easy to fall into the trap of telling children what to do all the time. Sangat mudah untuk jatuh ke dalam perangkap anak-anak mengatakan apa yang harus dilakukan sepanjang waktu.

o    Check that your instructions are reasonable. Periksa bahwa instruksi orang tua sudah wajar. Tantrums are more likely if your child can't do what he is being asked to do. Tantrum lebih cenderung terjadi jika anak tidak bisa melakukan apa yang diminta melakukan.

o    Let your child know in advance when you have to do something. Biarkan anak tahu sebelumnya ketika orang tua harus melakukan sesuatu. This way, she knows her activity is about to change. Dengan cara ini, dia tahu aktivitas ini akan berubah.

Offer choices where possible. Menawarkan pilihan jika memungkinkan.

Frustrasi dengan objek atau aktivitas (misalnya, membuat mainan bekerja)

o    Memberikan bantuan sebelum tantrum.

o    Put frustrating toys or activities out of reach. Letakkan frustrasi karena mainan atau kegiatan di luar jangkauan.

Spend some time teaching your child how to use the object.Luangkan waktu untuk mengajar anak  bagaimana untuk menggunakan object.

tabel pemicu dan pencegah temper tantrum sumber:www.raisingchildrennetworks.com 2010

 

d.    Langkah selanjutnya adalah mengidentifikasi konsekuensi dari perilaku tantrum.

e.    Orang tua dapat menetapkan dan mendata reward sebagai penguat bagi anak untuk tetap tenang. Reward ini dapat berupa hadiah kecil yang disukai anak.

f.     Orang tua membimbing anak untuk bisa mengatasi permasalah anak dengan cara lain selain tantrum untuk mengekspresikan emosi.

 Draw up a chart with four columns. Record the day of the tantrum, where it happened, what happened just before it, and what happened right afterwards.Identify the situations that make tantrums more likely to happen (for example – tiredness, going shopping, mealtimes).Identify the triggers for your child's tantrums.

4.    Orang tua tetap tenang menghadapi tantrum anak, jangan ikut tersulut emosi sehingga memarahi anak. Karena reaksi keras dari orang tua akan menambah tantrum anak semakin hebat.

5.    Mengabaikan perilaku tantrum sampai berhenti

6.    Tidak memenuhi kenginan anak jika anak meminta dengan cara tantrum

7.    Konsisten dengan sikap orang tua untuk tidak memenuhi keinginan anak ketika tantrum

8.    Memberi reward kepada anak ketika anak berbuat kebaikan dan dapat mengontrol tantrum

 

Dengan demikian berdasarkan beberapa saran yang sudah dikemukakan sebelumnya, para orang tua hendaknya lebih memperhatikan pentingnya perkembangan dan pertumbuhan anak di usia emas seperti tiga tahun pertama. Salah satu aspek penting yang perlu diperhatikan adalah aspek social-emosional terutama perilaku temper tantrum. Diharapkan adanya kerja sama dan koordinasi dalam menentukan pola asuh terutama antara orang tua dengan pengasuh. Kesamaan pola asuh ini dapat mengurangi dampak tantrum pada anak.

 

DAFTAR REFERENSI

                     Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003 dan peraturan Pelaksanaannya, Jakarta : Depdiknas, 2004

Dariyo, Agoes. Psikologi Perkembangan Anak Tiga Tahun Pertama, Bandung : PT. Refika Aditama, 2007

Djiwandono, Sri Esti Wuryani.Psikologi Pendidikan, Jakarta : PT.Grasindo, 2006

Hasan, Maimun. Pendidikan Anak Usia Dini, Yogyakarta : Diva Press, 2009

Lichtenstein, R dan Ireton, H. Preeschool Screening:Identifying Young Children With Developmental and Educational Problem, Orlando : Groune and Statton,Harcout Brace Javanovich 1984

Shelov, Steven P. Caring For Your Baby and Young Child, New York : Bantam Book, 1993

Smith, K Mark, Dkk.  Teori Belajar dan pembelajaran (Terjemh). Jakarta : Mirza Media Pustaka. 2009.

Sujiono, Yuliani Nurani.Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini, Jakarta : PT. Indeks,2009

Santrock, W John. Psikologi Pendidikan (Terjemh). Jakarta : Kencana. 2007

Papalia, E Diane, Olds W Sally, dan Duskin Ruth. Human Development (Terjmh). Jakarta : Kencana. 2008

Woolfolk, Anita. Educational Psychology, Pearson Education, 2007

www.NASPresource.com 2010

www.raisingchildrennetwork. 2010

www.webMD.com 2010

Sabtu, 09 Juni 2012

Pentingnya Teknologi Informasi Bagi Pendidikan

Teknologi Informasi dan Komunikasi adalah salah satu aspek yang menonjol dari globalisasi. Sebagai masyarakat dunia, pendidik tidak dapat menghindar dari kemajuan dan perkembangan teknologi. Tanpa terkecuali Anak Usia Dini. Anak-anak juga tidak dapat menghindar dari begitu banyaknya alat-alat digital yang mungkin saja sudah akrab anak jumpai di rumah. Seperti, kamera, microwave, handphone, dan lain sebagainya yang menggunakan teknologi digital. Untuk itu penulis dalam jurnal ini mencoba meneliti mengenai pentingnya memasukkan Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam kurikulum untuk Anak Usia Dini. Di Indonesia TIK juga termasuk salah satu poin penting dalam kurikulum yang perlu dikembangkan dengan tetap mengacu pada standar nasional pendidikan. Hal ini terdapat di dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003 pasal 36 ayat 3 (UU Sisdiknas, 2003).
Kebutuhan akan perkembangan TIK yang juga diperlukan untuk pendidikan juga terdapat dalam Undang-undang Sistem Pendidikan nasional (UU Sisdiknas, 2003). Hal ini terdapat pada pasal 1 yang menyatakan bahwa Pendidikan Nasional juga harus tanggap terhadap perubahan perkembangan zaman. Dengan demikian perkembangan zaman yang pesat terutama perkembangan TIK perlu juga diselaraskan dengan pendidikan terutama di Indonesia untuk mempersiapkan para User bahkan teknokrat-teknokrat Indonesia sejak usia dini. Jika sejak dini dibekali dengan pendidikan berbasis teknologi diharapkan ketika dewasa anak-anak dapat menyikapi perkembangan TIK dengan lebih bijaksana dan benar-benar menggunakan TIK sebagai alat bukan mainan seperti yang pernah dikemukakan oleh Bill Gates seorang teknokrat terkenal yang menemukan Microsoft(www.jurnalpendidikaninovatif.com, 2010).
Namun sebagian masyarakat menganggap teknologi adalah hal buruk yang dapat merusak metode-metode tradisional yang biasa digunakan untuk mengembangkan aspek perkembangan anak. Karena melalui TIK kurang mengembangkan sosial interpersonal dan fisik anak. Hal demikian merupakan pendapat dari masyarakat yang belum siap menghadapi perkembangan teknologi digital.It is a technological world in which children are often more comfortable than their parents and teachers. Ini adalah dunia teknologi di mana anak-anak sering kali lebih nyaman daripada orang tua dan guru ketika menggunakan alat-alat teknologi digital tersebut. Until very recently has been regarded as anathema to effective early childhood education, where the emphasis has traditionally been on the development of interpersonal social skills and physical coordination (Ferguson, 2005; Miller, 2005). Sampai baru-baru ini telah dianggap sebagai kutukan bagi pendidikan anak usia dini yang efektif, di mana penekanan secara tradisional pada pengembangan keterampilan sosial interpersonal dan koordinasi fisik (Ferguson, 2005; Miller, 2005).
Hambatan lain di Indonesia, pembelajaran melalui TIK untuk Anak Usia Dini belum ditunjang dengan baik oleh sarana dan prasarana. Sehingga hanya sebagian kalangan saja yang sudah dapat menikmati pembelajaran berbasis TIK terutama di kota-kota besar di Indonesia. Berdasarkan penelitian dari penulis jurnal ini pembelajaran berbasis TIK sangat efektif bagi Anak Usia Dini karena mampu mengembangkan sembilan prinsip pembelajaran yang aktif, konstruktif, kolaboratif, antusiastik, dialogis, kotekstual dan reflektif. Karena pembelajaran berbasis TIK ini juga di dahului dengan tahapan-tahapan pengenalan terhadap alat-alat TIK agar menarik minat anak untuk dapat akrab dengan alat-alat tersebut hingga pada akhirnya menjadi suatu kebutuhan bagi anak untuk mencari informasi bahkan memecahkan masalah (www.dispendikkabprop.org, 2010).
Dengan demikian untuk mempersiapkan Sumber daya manusia yang maju dan memanfaatkan teknologi dengan baik, maka hal ini perlu dipersiapkan sedini mungkin. Sejak usia dini perlu diperkenalkan dan dimunculkan minat anak terhadap TIK agar siap tidak hanya sebagai user tapi juga teknokrat TIK di Indonesia. Hal tersebut dapat diwujudkan dan dikembangkan di dalam kurikulum namun tetap harus disesuaikan dengan standar pendidikan nasional di Indonesia. Untuk itu marilah para pendidik anak usia dini mulai memperhatikan standar yang tepat untuk pengembangan kurikulum tentang TIK untuk anak usia dini di Indonesia yang tepat dan sesuai dengan budaya Indonesia.

REFERENSI
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003
Ferguson, S. (2005). How computers make our kids stupid. Maclean's, 118(23)
Miller, E. (2005). Less screen time, more play time. Principal, 85(1;1)